March 2012 - Archieve

Under the hood articles from the past.

Wednesday, March 28, 2012

Penjelasan Lengkap Mengenai Sholat Sunnah Rawatib

Majalah Muslim - Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat lima waktu. Shalat sunnah rawatib yang dikerjakan sebelum shalat wajib disebut shalat sunnah qobliyah. Sedangkan sesudah shalat wajib disebut shalat sunnah ba’diyah.
Di antara tujuan disyari’atkannya shalat sunnah qobliyah adalah agar jiwa memiliki persiapan sebelum melaksanakan shalat wajib. Perlu dipersiapkan seperti ini karena sebelumnya jiwa telah disibukkan dengan berbagai urusan dunia. Agar jiwa tidak lalai dan siap, maka ada shalat sunnah qobliyah lebih dulu.

Sedangkan shalat sunnah ba’diyah dilaksanakan untuk menutup beberapa kekurangan dalam shalat wajib yang baru dilakukan. Karena pasti ada kekurangan di sana-sini ketika melakukannya.

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

Pertama: Shalat adalah sebaik-baik amalan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ

“Ketahuilah, sebaik-baik amalan bagi kalian adalah shalat.”[1]

Kedua: Akan meninggikan derajat di surga karena banyaknya shalat tathowwu’ (shalat sunnah) yang dilakukan

Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanyakan mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai oleh Allah. Kemudian Tsauban mengatakan bahwa beliau pernah menanyakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau menjawab,

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

“Hendaklah engkau memperbanyak sujud kepada Allah karena  tidaklah engkau bersujud pada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan satu derajatmu dan menghapuskan satu kesalahanmu.”[2] Ini baru sekali sujud. Lantas bagaimanakah dengan banyak sujud atau banyak shalat yang dilakukan?!

Ketiga: Menutup kekurangan dalam shalat wajib

Seseorang dalam shalat lima waktunya seringkali mendapatkan kekurangan di sana-sini sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ عُشْرُ صَلاَتِهِ تُسْعُهَا ثُمُنُهَا سُبُعُهَا سُدُسُهَا خُمُسُهَا رُبُعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا

“Sesungguhnya seseorang ketika selesai dari shalatnya hanya tercatat baginya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, separuh dari shalatnya.”[3]

Untuk menutup kekurangan ini, disyari’atkanlah shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat. Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah? Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan. Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.”[4]

Keempat: Rutin mengerjakan shalat rawatib 12 raka’at dalam sehari akan dibangunkan rumah di surga.

Dari Ummu Habibah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Coba kita lihat, bagaimana keadaan para periwayat hadits ini ketika mendengar hadits tersebut. Di antara periwayat hadits di atas adalah An Nu’man bin Salim, ‘Amr bin Aws, ‘Ambasah bin Abi Sufyan dan Ummu Habibah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.

Ummu Habibah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ”

‘Ambasah mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.”

‘Amr bin Aws mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.”

An Nu’man bin Salim mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.”[5]

Yang dimaksudkan dengan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari dijelaskan dalam riwayat At Tirmidzi, dari ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum  zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.”[6]

Hadits di atas menunjukkan dianjurkannya merutinkan shalat sunnah rawatib sebanyak 12 raka’at setiap harinya.[7]

Dua belas raka’at rawatib yang dianjurkan untuk dijaga adalah: [1] empat raka’at[8] sebelum Zhuhur, [2] dua raka’at sesudah Zhuhur, [3] dua raka’at sesudah Maghrib, [4] dua raka’at sesudah ‘Isya’, [5] dua raka’at sebelum Shubuh.

Shalat Qobliyah Shubuh Jangan Sampai Ditinggalkan

Shalat sunnah qobliyah shubuh atau shalat sunnah fajr memiliki keutamaan sangat luar biasa. Di antaranya disebutkan dalam hadits ‘Aisyah,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua raka’at sunnah fajar (qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.”[9]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat melakukan shalat ini, sampai-sampai ketika safar pun beliau terus merutinkannya.

‘Aisyah mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki perhatian yang luar biasa untuk shalat sunnah selain shalat sunnah fajar.”[10]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[11]

Tiga Model untuk Shalat Rawatib Zhuhur

Dalam melakukan shalat sunnah rawatib zhuhur ada tiga model yang bisa dilakukan.

Pertama: Empat raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudah Zhuhur sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits ‘Aisyah di atas.

Kedua: Empat raka’at sebelum Zhuhur dan empat raka’at sesudah zhuhur. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Ummu Habibah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ

“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah empat raka’at sebelum Zhuhur dan empat raka’at sesudah Zhuhur, maka akan diharamkan baginya neraka.”[12]

Ketiga: Dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudah Zhuhur. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,

فِظْتُ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِى بَيْتِهِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِى بَيْتِهِ ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ

“Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh raka’at (sunnah rawatib), yaitu dua raka’at sebelum Zhuhur, dua raka’at sesudah Zhuhur, dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum Shubuh.”[13]

Ringkasan Jumlah Raka’at Shalat Rawatib

Shalat rawatib ada yang muakkad (ditekankan untuk dikerjakan) dan ghoiru muakkad (tidak begitu ditekankan untuk dikerjakan). Mengenai jumlah raka’at shalat sunnah rawatib tersebut, kami lampirkan pada tabel berikut.[14]

Lebih Bagus Menjalankan Shalat Sunnah di Rumah

Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menjalankan setiap shalat sunnah di rumah, kecuali jika memang ada hajat atau faktor lain yang mendorong untuk melakukannya di masjid.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

“Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalat seseorang di rumahnya selain shalat wajib.”[15]

Di  antara keutamaan lainnya mengerjakan shalat di rumah, apalagi ketika baru datang dari masjid atau akan pergi ke masjid terdapat dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا خرجت من منزلك فصل ركعتين يمنعانك من مخرج السوء وإذا دخلت إلى منزلك فصل ركعتين يمنعانك من مدخل السوء

“Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang ada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.”[16]

Kontinu dalam Amalan itu Lebih Baik

Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [17]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[18]

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[19]

Demikian sedikit penjelasan dari kami mengenai shalat sunnah rawatib. Semoga kita termasuk hamba Allah yang bisa merutinkannya. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Pangukan, Sleman, 17 Dzulhijah 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

[1] HR. Ibnu Majah no. 277, Ad Darimi no. 655 dan Ahmad (5/282), dari Tsauban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Muslim no. 488.

[3] HR. Abu Daud no. 796 dan Ahmad (4/321), dari ‘Ammar bin Yasir. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[4] HR. Abu Daud no. 864, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] HR. Muslim no. 728.

[6] HR. Tirmidz no. 414, dari ‘Aisyah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[7] Lihat Bughyatul Mutathowwi’fii Sholati At Tathowwu’.

[8] Dikerjakan dua raka’at salam dan dua raka’at salam.

[9] HR. Muslim no. 725.

[10] HR. Bukhari no. 1169.

[11] Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/456, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H. [Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, ‘Abdul Qadir Al Arnauth]

[12] HR.Abu Daud no. 1269, An Nasa-i no. 1816, dan At Tirmidzi no. 428. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[13] HR. Bukhari no. 1180.

[14] Shahih Fiqh Sunnah, 1/381.

[15] HR. Bukhari no. 731 dan Muslim no. 781.

[16] HR. Al Bazzar. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323.

[17] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.

[18] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.

[19] Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah
@Rumaysho

Tuesday, March 27, 2012

Macam-Macam Shalat Sunnah beserta Dalilnya



Majalah Muslim - Pada dasarnya shalat sunnah itu ada dua macam:

1. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
2. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan dilakukan secara berjamaah

A. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah

1. Shalat Idul Fitri

2. Shalat Idul Adha

Ibnu Abbas Ra. berkata: “Aku shalat Idul Fithri bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar, beliau semua melakukan shalat tersebut sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dilakukan 2 raka’at. Pada rakaat pertama melakukan tujuh kali takbir (di luar Takbiratul Ihram) sebelum membaca Al-Fatihah, dan pada raka’at kedua melakukan lima kali takbir sebelum membaca Al-Fatihah.

3. Shalat Kusuf (Gerhana Matahari)

4. Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)

Ibrahim (putra Nabi SAW) meninggal dunia bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari. Beliau SAW bersabda:

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena kehidupan (kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka shalatlah dan berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah ibnu Amr, bahwasannya Nabi SAW memerintahkan seseorang untuk memanggil dengan panggilan “ashsholaatu jaami’ah” (shalat didirikan dengan berjamaah). (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dilakukan dua rakaat, membaca Al-Fatihah dan surah dua kali setiap raka’at, dan melakukan ruku’ dua kali setiap raka’at.

5. Shalat Istisqo’

Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id. (HR Imam Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Tata caranya seperti shalat ‘Id.

6. Shalat Tarawih

Dari ‘Aisyah Rda., bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat di masjid pada suatu malam. Maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau. Nabi shalat (lagi di masjid) pada hari berikutnya, jamaah yang mengikuti beliau bertambah banyak. Pada malam ketiga dan keempat, mereka berkumpul (menunggu Rasulullah), namun Rasulullah SAW tidak keluar ke masjid. Pada paginya Nabi SAW bersabda: “Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan tadi malam, namun aku tidak keluar karena sesungguhnya aku khawatir bahwa hal (shalat) itu akan difardlukan kepada kalian.” ‘Aisyah Rda. berkata: “Semua itu terjadi dalam bulan Ramadhan.” (HR Imam Muslim)

Jumlah raka’atnya adalah 20 dengan 10 kali salam, sesuai dengan kesepakatan shahabat mengenai jumlah raka’at dan tata cara shalatnya.

7. Shalat Witir yang mengiringi Shalat Tarawih

Adapun shalat witir di luar Ramadhan, maka tidak disunnahkan berjamaah, karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.

B. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah

1. Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu), terdiri dari:

a. 2 raka’at sebelum shubuh
b. 4 raka’at sebelum Dzuhur (atau Jum’at)
c. 4 raka’at sesudah Dzuhur (atau Jum’at)
d. 4 raka’at sebelum Ashar
e. 2 raka’at sebelum Maghrib
f. 2 raka’at sesudah Maghrib
g. 2 raka’at sebelum Isya’
h. 2 raka’at sesudah Isya’

Dari 22 raka’at rawatib tersebut, terdapat 10 raka’at yang sunnah muakkad (karena tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW), berdasarkan hadits:

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW senantiasa menjaga (melakukan) 10 rakaat (rawatib), yaitu: 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 raka’at sesudah Isya’ di rumah beliau, dan 2 raka’at sebelum Shubuh … (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Adapun 12 rakaat yang lain termasuk sunnah ghairu muakkad, berdasarkan hadits-hadits berikut:

a. Dari Ummu Habibah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa senantiasa melakukan shalat 4 raka’at sebelum Dzuhur dan 4 raka’at sesudahnya, maka Allah mengharamkan baginya api neraka.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at sesudahnya ada yang sunnah muakkad dan ada yang ghairu muakkad.

b. Nabi SAW bersabda:

“Allah mengasihi orang yang melakukan shalat empat raka’at sebelum (shalat) Ashar.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Huzaimah)

Shalat sunnah sebelum Ashar boleh juga dilakukan dua raka’at berdasarkan Sabda Nabi SAW:

“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)

c. Anas Ra berkata:

“Di masa Rasulullah SAW kami shalat dua raka’at setelah terbenamnya matahari sebelum shalat Maghrib…” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Nabi SAW bersabda:

“Shalatlah kalian sebelum (shalat) Maghrib, dua raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

d. Nabi SAW bersabda:

“Di antara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat shalat.” (HR Imam Bazzar)

Hadits ini menjadi dasar untuk seluruh shalat sunnah 2 raka’at qobliyah (sebelum shalat fardhu), termasuk 2 raka’at sebelum Isya’.

2. Shalat Tahajjud (Qiyamullail)

Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 79, As-Sajdah ayat 16 – 17, dan Al-Furqaan ayat 64. Dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan jumlah raka’at tidak dibatasi.

Dari Ibnu Umar Ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Shalat malam itu dua (raka’at)-dua (raka’at), apabila kamu mengira bahwa waktu Shubuh sudah menjelang, maka witirlah dengan satu raka’at.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

3. Shalat Witir di luar Ramadhan

Minimal satu raka’at dan maksimal 11 raka’at. Lebih utama dilakukan 2 raka’at-2 raka’at, kemudian satu raka’at salam. Boleh juga dilakukan seluruh raka’at sekaligus dengan satu kali Tasyahud dan salam.

Dari A’isyah Rda. Bahwasannya Rasulullah SAW shalat malam 13 raka’at, dengan witir 5 raka’at di mana beliau Tasyahud (hanya) di raka’at terakhir dan salam. (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Beliau juga pernah berwitir dengan tujuh dan lima raka’at yang tidak dipisah dengan salam atau pun pembicaraan. (HR Imam Muslim)

4. Shalat Dhuha

Dari A’isyah Rda., adalah Nabi SAW shalat Dhuha 4 raka’at, tidak dipisah keduanya (tiap shalat 2 raka’at) dengan pembicaraan.” (HR Abu Ya’la)

Dari Abu Hurairah Ra., bahwasannya Nabi pernah Shalat Dhuha dengan dua raka’at (HR Imam Bukhari dan Muslim)

Dari Ummu Hani, bahwasannya Nabi SAW masuk rumahnya (Ummu Hani) pada hari Fathu Makkah (dikuasainya Mekkah oleh Muslimin), beliau shalat 12 raka’at, maka kata Ummu Hani: “Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada shalat (12 raka’at) itu, namun Nabi tetap menyempurnakan ruku’ dan sujud beliau.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

5. Shalat Tahiyyatul Masjid

Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” (HR Jama’ah Ahli Hadits)

6. Shalat Taubat

Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berdosa, kemudian ia bangun berwudhu kemudian shalat dua raka’at dan memohon ampunan kepada Allah, kecuali ia akan diampuni.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain)

7. Shalat Tasbih

Yaitu shalat empat raka’at di mana di setiap raka’atnya setelah membaca Al-Fatihah dan Surah, orang yang shalat membaca: Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar sebanyak 15 kali, dan setiap ruku’, i’tidal, dua sujud, duduk di antara dua sujud, duduk istirahah (sebelum berdiri dari raka’at pertama), dan duduk tasyahud (sebelum membaca bacaan tasyahud) membaca sebanyak 10 kali (Total 75 kali setiap raka’at). (HR Abu Dawud dan Ibnu Huzaimah)

8. Shalat Istikharah

Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah dalam segala hal … beliau SAW bersabda: ‘apabila salah seorang dari kalian berhasrat pada sesuatu, maka shalatlah dua rakaat di luar shalat fardhu …dan menyebutkan perlunya’ …” (HR Jama’ah Ahli Hadits kecuali Imam Muslim)

9. Shalat Hajat

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempunyai hajat kepada Allah atau kepada seseorang, maka wudhulah dan baguskan wudhu tersebut, kemudian shalatlah dua raka’at, setelah itu pujilah Allah, bacalah shalawat, atas Nabi SAW, dan berdoa …” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

10. Shalat 2 rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah

Dari Ka’ab bin Malik: “Adalah Nabi SAW apabila pulang dari bepergian, beliau menuju masjid dan shalat dulu dua raka’at.” (HR Bukhari dan Muslim)

11. Shalat Awwabiin

Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 25

Dari Ammar bin Yasir bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat setelah shalat Maghrib enam raka’at, maka diampuni dosa-dosanya, walaupun sebanyak buih lautan.” (HR Imam Thabrani)

Ibnu Majah, Ibnu Huzaimah, dan Tirmidzi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah Ra. Nabi SAW bersabda: “Barang siapa shalat enam raka’at antara Maghrib dan Isya’, maka Allah mencatat baginya pahala ibadah 12 tahun” (HR Imam Tirmidzi)

12. Shalat Sunnah Wudhu’

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa berwudhu, ia menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua raka’at, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)

13. Shalat Sunnah Mutlaq

Nabi SAW berpesan kepada Abu Dzar al-Ghiffari Ra.: “Shalat itu sebaik-baik perbuatan, baik sedikit maupun banyak.” (HR Ibnu Majah)

Dari Abdullah bin Umar Ra.: “Nabi SAW bertanya: ‘Apakah kamu berpuasa sepanjang siang?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dan kamu shalat sepanjang malam?’ Aku menjawab: ’Ya.’ Beliau bersabda: ’Tetapi aku puasa dan berbuka, aku shalat tapi juga tidur, aku juga menikah, barang siapa tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku’.” (HR Bukhari dan Muslim)
@sadatdisini

Monday, March 26, 2012

Perbedaan antara "Silaturahmi" dan "Silaturahim


Berjabat Tangan Silaturahim
Ilustrasi (Multiply)
Majalah Muslim - Umat Islam Indonesia adalah umat yang suka bersilaturahim. Saling berkunjung, saling menyapa dan saling berkomunikasi. Tetapi, mengapa tetap saja selalu menghadirkan kebencian, kedengkian dan konflik, padahal silaturahmi terus dijalin banyak pihak?

Kalau boleh dikatakan penyakit, penyakit itu adalah seringkali kita keliru menggunakan istilah kata. kita keliru menggunakan istilah silaturahmi. Padahal, yang betul adalah silaturahim.

Lantas, apa bedanya silaturahmi dengan silaturahim? Padahal susunan hurufnya sama saja. Ya, memang perbedaannnya ada pada akhiran yang ada pada huruf mim.

Pada dasarnya silaturahmi berasal dari dua kata, “silah” dan “rahmi”. Silah artinya menyambungkan. Sedang rahmi artinya rasa nyeri yang diderita para ibu ketika melahirkan. Hal ini tentu sangat berbeda rahim yakni menyambung rasa kasih sayang dan pengertian.

Itu sebabnya kebencian, kedengkian dan konflik masih saja ada meski silaturahmi terus terjalin. Sebab, yang kita sambung adalah rasa nyeri para ibu kita ketika melahirkan tadi.

Ungkapan lain yang seringkali kita gunakan, dan ternyata salah adalah membatalkan puasa. Seringkali pada saat-saat menjelang maghrib dan akhirnya adzan berkumandang, pada saat yang sama kita sedang sibuk mengerjakan sesuatu yang harus selasai. Pada saat itulah salah seorang dari kita: mari kita batalkan puasa kita, ayo batalkan puasanya dulu.

Padahal, kalau ungkapan itu benar-benar diniatkan untuk membatalkan puasa, maka batal benar puasa kita. Batal dalam perspektif tidak ada ganjaran pahala sama sekali terhadap puasa kita itu. Padahal, kita telah menahan lapar, haus serta hal-hal yang membatalkan puasa. Lalu tiba-tiba ibadah kita itu batal hanya karena niat mem-”batal”-kan puasa kita.

Sebagai ummat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sudah sepantasnya kita mencontoh beliau. Sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah hadist, istilah berbuka puasa yang tepat adalah mempercepat buka puasa serta mengakhirkan sahur dan bukan membatalkan puasa. Mempercepat dalam artian segera berbuka puasa jika sudah waktunya berbuka, bukan menyegerakan untuk berbuka belum pada waktunya berbuka.

Demikan, semoga sedikit tulisan ini benar-benar merupakan harapan kita untuk perbaikan untuk Indonesia yang lebih baik. Semoga tidak ada yang salah kaprah lagi tentang kosakata yang menghadirkan ketidaknyamanan dalam keseharian kita. Apalagi jika berkaitan dengan ibadah.
@Hasan Al Banna

Sunday, March 25, 2012

Download EBook Untukmu Kader Dakwah (KH. Rahmat Abdullah)

Download EBook Untukmu Kader Dakwah (KH. Rahmat Abdullah)

EBook Untukmu Kader Dakwah (KH. Rahmat Abdullah)
Buku ini merupakan kumpulan tulisan KH. Rahmat Abdullah yang pernah dimuat dimajalah Tarbawi. Kebetulan, pada kurun tertentu, beliau pernah menulis dengan tema-tema refleksi seputar 10 prinsip-prinsip dakwah imam Hasan Al-Banna, yang juga sering dikenal dengan Al Arkan Al 'Asyarah atau rukun yang sepuluh.

Yang menjadi salah satu keunggulan dari karya ini, adalah kedalaman reflektifnya. Itu yang membedakannya dengn tulisan-tulisan karya orang lain seputar prinsip tersebut. Dengan refleksi ini anda akan diajak merenungkan 10 prinsip-prinsip dakwah itu dalam setting situasi, makna, dan fungsi yang luas. Dan itu pula yang menjadikan kumpulan tulisan ini meski judulnya untuk kader dakwah--layak dibaca oleh siapa saja.”.
                              Download EBook Untukmu Kader Dakwah (KH. Rahmat Abdullah)

Password file: kammi1011
Sumber: kammi1011

Saturday, March 24, 2012

Download EBook Qiyadah Wal Jundiyah (Syaikh Mustafa Masyhur)


EBook Qiyadah Wal Jundiyah (Syaikh Mustafa Masyhur)

Amanah yang diberikan itu bukanlah suatu hal yang mudah, bukan pula untuk dibangga - banggakan. Tapi dibalik amanah yang diberikan oleh kita ada tanggungjawab yang besar. Pertanggungjawaban yang sebenarnya dihadapan Allah SWT. Maka dalam sebuah organisasi dibutuhkan yang namanya Qiyadah (pemimpin), jundiyah (yang dipimpin), dan juga manhaj. Semua itu harus terangkum dalam satu tujuan yang jelas. Untuk mencapai tujuan yang mulia berupa menegakkan kembali Daulah Islamiah Amaliyah yang terpenting adalah melalui amal jama'i. Keputusan yang kurang baik yang berdasarkan hasil syuro jauh lebih baik dari keputusan sendiri. dan InsyaAllah itu membawa berkah. Dalam QS. As Shaff : 4 "Sesungguhnya Allah mencintai orang - orang yang berperang di jalanNya dalam barisan teratur, mereka seakan - akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh". So, siapa sih yang gak ingin Allah cinta padanya??semua oramg pasti ingin Allah mencintai kita. Maka ini salah satunya dengan beramal jama'i. Dalam sholat saja berjamaah itu lebih utama daripada sholat sendiri begitupun dalam sebuah organisasi. Maka perlu juga seseorang itu melalui tahapan - tahapan yang biasa disebut dengan Akanul Baiat untuk dapat menjalankan amanah yang diemban dalam sebuah organisasi. Sehingga seseorang itu dapat mengetahui batasan - batasan yang dilakukan oleh Qiyadah ataupun Jundiyah. Banyak yang harus dilakukan untuk menjadi Qiyadah ataupun Jundiyah yang baik. Kita akan terus belajar dalam amanah yang diemban. Keyakinan adalah faktor yang penting untuk dapat bergerak walaupun banyak hal lain juga yang tidak boleh dikesampingkan. Dan pastinya, setiap apapun yang kita lakukan maka orientasikan semua hanya mengharapkan ridho Allah semata. Bukan karena sesuatu hal selain Dia.

Thaharah: Pembagian dan Jenis Air menurut Islam


Sayyid Sabiq
Sayyid Sabiq
Pertama: Air Mutlak

Hukum air mutlak adalah thahûrun (suci dan menyucikan). Dengan kata lain, air mutlak itu suci pada zatnya dan dapat menyucikan benda lain. Ada beberapa macam air yang dikategorikan air mutlak, yaitu:

1. Air Hujan, salju dan embun.

Mengenai hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (Al Anfâl [8] : 11)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Al Furqân [25] : 48)

Juga berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah  radhiyallahu ánhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Takbir dalam shalat, beliau berdiam sesaat sebelum membaca surah Al Fâtihah. Lantas aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah! Demi kemuliaan ibu dan bapakku, apa yang engkau baca ketika berdiam sesaat di antara takbir dan membaca Al Fâtihah?’ Rasulullah menjawab, “Aku membaca, “Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan jarak antara Timur dengan Barat. Ya Allah bersihkanlah diriku dari semua kesalahanku sebagaimana kain putih yang telah bersih dari kotoran. Ya Allah, basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.”[2]

2. Air laut

Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ánhu Ia berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam., ‘Wahai Rasulullah, kami berlayar mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. JIka kami menggunakannya untuk berwudhu, kami akan mengalami dahaga. Bolehkan kami berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah menjawab,

“Air laut itu suci[3], dan bangkai (yang terdapat di dalamnya) halal (dimakan).”[4] (HR Bukhari, Muslim, Abu daud, Tirmidzi dan An Nasai). Imam Tirmidzi berkata, Hadits ini hasan dan shahih. Saya pernah bertanya kepada Muhammad Isma’il Al  Bukhari mengenai hadits ini dan beliau menjawab, bahwa hadits ini shahih.

3. Air Zamzam

Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Ali radhiyallahu ánhu. Ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah meminta seember air zamzam, lalu beliau meminumnya kemudian berwudhu dengannya..”[5] (HR Ahmad)

4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang

Air ini tidak mengalir, atau bercampur dengan sesuatu yang sulit dipisahkan, seperti lumut dan dedaunan pohon. Menurut kesepakatan ulama (ijma’), air seperti ini termasuk air mutlak.

Pada dasarnya, segala jenis air dalam pembahasan di sini yang dapat disebut air, mutlak tanpa dikaitkan dengan unsur-unsur lain dapat digunakan untuk bersuci. Allah subhanahu wa ta’ala. Berfirman, “…lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.” (Al Mâ’idah[5] : 6)

Kedua: Air Musta’mal (air yang pernah digunakan)

Air musta’mal adalah air yang pernah dipergunakan untuk mandi besar atau berwudhu. Hukum air semacam ini adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci, sebagaimana air mutlak dengan tanpada ada perbedaan dari segi hukum. Sebab, pada dasarnya air ini suci, dan tidak ada satu pun dalil yang meniadakan kesucian hukumnya. Adapun dalil yang menyatakan bahwa hukum air musta’mal adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci adalah hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz ketika menjelaskan tata cara wudhu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.. Ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. mengusap kepalanya dengan sisa air wudhu yang terdapat pada kedua tanggannya.” (HR Ahmad dan Abu Daud)

Dan redaksi hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi, “Sesungguhnya Rasullullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. mengusap kepalanya dengan air yang masih tersisa yang ada di tangannya.”[6]

Abu Hurairah radhiyallahu ánhu berkata , ia bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. di  jalan di Madinah, yang saat itu ia dalam keadaan junub. Dia lantas menghindari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. untuk mandi terlebih dulu. Setelah itu, ia mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.. Saat bertemu dengan beliau, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bertanya kepadanya, “Kemana engkau, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Saya tadi dalam keadaan junub. Saya tidak ingin duduk di sisimu dalam keadaan tidak bersuci.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. lalu bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang beriman tidak najis’.”[7]

Hadits ini menegaskan bahwa orang beriman tidak najis. Karenanya, tidak ada alasan menjadikan air yang telah dipergunakan hilang kesuciannya, hanya karena disentuh seorang Mukmin yang pada dasarnya suci. Secara umum, benda suci apabilan menyentuh benda suci yang lain, hal yang sedemikian tidak menimbulkan pengaruh apapun, apalagi sampai menghilangkan kesuciannya. Ibnu Mundzir berkata, “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha’, Makhul dan Nakha’I bahwa mereka berpendapat mengenai seseorang yang lupa mengusap kepalanya lalu menemukan sisa air yang masih melekat pada jenggotnya. Menurut mereka, seseorang dibolehkan mengusap kepalanya dengan air tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal tetap suci dan bisa menyucikan. Begitu halnya dengan pendapatku.”

Mazhab ini merupakan salah satu pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Syafi’i. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pendapat yang sedemikian, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya merupakan pendapat Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur dan seluruh mazhab Zhahiri.

Ketiga: Air yang bercampur dengan benda suci

Adapun air yang bercampur dengan benda yang suci, seperti: sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya, yang pada umumnya terpisah dari air, maka hukum air tersebut tetap suci dan menyucikan selama masih masuk dalam kategori air mutlak. Jika tidak lagi masuk dalam kategori air mutlak, maka air itu hukumnya suci, tapi tidak dapat menyucikan benda lain.

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Ketika putri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Zainab) wafat, beliau masuk (ke dalam ruangan kami), lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah dia (jenazah Zainanb) sebanyak tiga, lima kali atau lebih dari itu – jika perlu, – dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Lalu campurlah air itu dengan kapur barus atau yang sejenis dengannya. Apabila telah selesai, beritahukan kepadaku.’ Setelah selesai memandikan, kami pun memberitahukan kepada beliau. Kemudian beliau menyerahkan sehelai kain kafan (sejenis sarung) seraya berkata, ‘ Balutkan kain ini pada tubuhnya’!”[8]

Mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang bener-benar suci untuk orang yang masih hidup.

Imam Ahmad, Nasai dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Ummu Hani’, ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah mandi (junub) bersama Maimunah dari satu bejana, yaitu sebuah bejana besar yang di dalamnya terdapat sisa adonan roti (tepung).”[9]

Sebagaimana yang dijelaskan pada kedua hadits di atas, kita tahu bahwa air tersebut telah bercampur dengan benda-benda suci. Namun, air tersebut tidak berubah statusnya dan masih dalam kategori air mutlak.

Keempat: Air yang bercampur najis

Air yang bercampur dengan najis terbagi menjadi dua macam, yaitu:

Pertama: Jika najis yang ada dalam air itu merubah salah satu dari rasa, warna atau bau air tersebut, menurut kesepakatan ulama (ijma’), air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci sama sekali. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.

Kedua: Air tetap dalam status kemutlakannya jika ketiga sifat yang meliputi rasa, bau atau warna tidak mengalami perubahan. Hukum air semacam ini adalah suci dan menyucikan, baik jumlah air tersebut sedikit ataupun banyak. Adapun yang menjadi landasan atas pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ánhu. Ia berkata, “Seorang Arab pedalaman berdiri lalu kencing dalam masjid. Dengan cepat para sahabat bangkit untuk menegurnya. Melihat hal itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda, “Biarkan dia! Sirami kencingnya dengan satu ember atau satu timba air! Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk mempersulit..”[10]

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ánhu berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. ditanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu dari sumur Budha’ah?”’[11]

Beliau menjawab, “Air itu suci dan tidak ada sesuatu pun yang menyebabkannya menjadi najis.”[12] (HR Ahmad, Syafi’i, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi)

Imam Tirmidzi mengklasifikasikan hadits ini sebagai hadits hasan. Imam Ahmad berkata, “Hadits sumur Budha’ah adalah shahih.” Hadits tersebut juga shahih dalam pandangan Yahya bin Mu’in dan Abu Muhammad bin Hazm.

Inilah pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Al Bashri, Ibnu Musayyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Ats Tsauri, Daud adh-Dhahiri, an-Nakha’i, Malik dan ulama yang lain. Al Ghazali berkata, “Saya berharap, semoga amzhab Syafi’i dalam perkara air, sama pendapatnya seperti mazhab Maliki.”

Abdullah bin Umar radhiyallahu ánhu meriwayatkan bahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam. Bersabda, “Jika air mencapai dua qulah, maka statusnya tidak mengandung najis,”[13] (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai)

Meskipun hadits ini mudhtahrib (tidak Jelas) dari segi sanad dan matannya. Ibnu Abdul Barr dalam kitab At Tahmid berkata, “Hadits dua qûlah yang menjadi pegangan Imam Syafi’i adalah mazhab yang lemah secara nalar, di samping haditsnya tidak kuat.”

Air Sisa Minuman

Maksudnya adalah air yang masih tersisa dalam bejana setelah diminum. Jenis air semacam ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:


1. Air sisa minuman manusia

Air sisa minuman manusia tetap suci, baik yang meminumnya orang Muslim, kafir, sedang junub maupun sedang haid.

Allah subhanahu wa ta’ala. Berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (At Taubah [9] : 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang musyrik adalah najis secara ma’nawi. Hal ini karena dilihat dari aspek akidah mereka yang batil dan ketidakpeduliannya pada kotoran dan najis, bukan badan atau tubuh mereka yang najis. Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam., mereka diperbolehkan berinteraksi dengan kaum Muslimin. Utusan dan delegasi mereka terus berdatangan menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.. Bahkan ada di antara mereka yang diperkenankan memasuki Masjid Nabawi. Meskipun demikian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. tidak pernah menyuruh agar membasuh benda yang disentuh oleh anggota tubuh orang-orang kafir. Hal ini menjadi landasan bahwa (badan) orang-orang kafir tidak najis. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa air sisa minuman perempuan haid tidak najis adalah hadits Aisyah radhiyallahu ánhu, ia berkata, “Saya pernah meminunm air ketika sedang haid. Kemudian saya berikan bekas minuman itu kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam., beliau terus menempelkan mulutnya pada tempat di mana aku menempelkan mulutku.”[14] (HR Muslim)

2. Air sisa minuman hewan yang halal dagingnya

Status air sisa yang telah diminum hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci. Sebab, air liurnya keluar dari daging yang suci. Dengan demikian, air sisa minumannya pun tetap suci. Abu Bakar bin Mundzir berkata, “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa air sisa minuman hewan yang halal dimakan dagingnya dapat diminum dan digunakan untuk berwudhu.

3. Air sisa minuman keledai, burung dan binatang buas

Status sisa air minuman keledai, burung dan binatang buas adalah suci. Adapun dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ánhu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah ditanya, “Bolehkah kami berwudhu dengan air sisa minuman keledai?’

Beliau menjawab, ‘Boleh. Begitu juga dengan air sisa minuman seluruh binatang buas.’”[15] (HR Syafi’i, Daruquthni dan Baihaqi)

Baihaqi berkata, jalur riwayat hadits ini banyak, dan antara yang satu dengan lainnya saling menguatkan.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ánhu, ia berkata, “Pada suatu malam, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bepergian. Beliau melewati seorang laki-laki yang sedang duduk dekat telaga miliknya. Umar bertanya, ‘Apakah ada binatang busa yang minum air di telagamu pada malam hari?’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. langsung menyela pertanyaannya seraya berkata, ‘Wahai pemilik telaga, jangan kamu beri tahu kepadanya, karena akan menyusahkan! Air yang sudah diminum binatang buas, itulah rezekinya, sedangkan sisanya dapat kita minum dan suci.”’[16] (HR Daruquthni)

Dari Yahya bin Sa’id, ia berkata, “Umar pergi bersama rombongan dan ‘Amar bin ‘Ash ttermasuk dalam rombongan itu, hingga mereka sampai di sebuah telaga. ‘Amar bertanya, ‘Wahai pemilik kolam, apakah kolam milikmu ini pernah didatangi binatang buas (untuk meminum airnya?)’ Mendengar itu, Umar berkata, ‘Kamu tidak perlu memberitahukan perkara itu kepada kami. Sebab, kami biasa minum di tempat minumnya binatang buas, dan sebaliknya, binatang juga sering minum di tempat kami meminum.”[17] (HR Malik.)

4. Air sisa minuman kucing

Air sisa minuman kucing statusnya juga suci. Sebagai landasan atas hal tersebut adalah hadits Kabsyah binti  Ka’ab yang menjadi pelayan Abu Qatadah. Pada suatu ketika, Abu Qatadah masuk ke rumahnya, sedangkan Kabsyah menyediakan air wudhu untuk Abu Qatadah. Dengan tiba-tiba, seekor kucing datang lalu memasukkan kepalanya ke dalam bejana dan meminum air tersebut.  Kabsyah menceritakan, “Melihat hal itu, saya hanya tertegun kebingungan.” Melihat Kabsyah dalam kebingungan, Abu Qatadah menegur, “Apakah kamu merasa heran, wahai anak saudaraku?”

“Benar,” jawab Kabsyah.

Abu Qatadah lantas berkata, sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda,

“Sesungguhnya Ia (kucing) bukanlah hewan najis. Ia termasuk hewan jinak yang senantiasa berada di sekelilingmu.”[18] (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)

Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan shahih.” Bahkan, Imam Bukhari dan yang lainnya mengategorikannya sebagai hadits shahih.

5. Air sisa minuman anjing dan babi

Air sisa minuman anjing dan babi adalah najis dan harus dijauhi. Adapun dalil atas kenajisannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ánhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika anjing meminum (air) dalam bejana salah seorang dari kalian, hendaknya ia mencucinya sebanyak tujuh kali.”[19]

Imam Ahmad dan Muslim juga meriwayatkan dengan redaksi, “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kalii, yang salah satunya harus menggunakan debu.”[20]

Sebagai alasan atas kenajisannya adalah karena bintang ini kotor dan menjijikkan.

[1] Suci baik secara haqiqiyah, seperti bersuci dengan menggunakan air, atau secara hukmiyah: seperti bersuci dengan menggunakan debu ketika bertayammum.

[2] HR Bukhari kitab “Al Âdzân,” bab “Mâ Yaqûl ba’da At Takbir” jilid I, hal.189. Muslim kitab “Al Masâjid,” bab “Mâ Yuqâl baina Takbirâh Al  Ihram wa Al Qira’ah”[147], jilid I, hal 419. Abu Daud kitab “ash-Shalâh,” bab “as-Saktah ‘inda Al Iftitah” [781], jilid I, hal.492. Imam Ahmad kitab Musnad Ahmad, jilid II, Hal.231. Nasai kitab “Al Iftitah,” bab “ad-Du’â baina at –Takbirah wa a;-Qira’ah” [895], jilid II, hal.128.

[3] Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak menggunakan kata ‘ya’ dalam menjawab pertanyaan ini. Hal ini bertujuan untuk menyertakan suatu hukum dengan ‘illatnya, bahwa air laut benar-benar suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci. Di samping itu, beliau menjelaskan lebih lanjut tentang hokum satu hal yang tidak dinyatakan, yakni perkara yang berkaitan halalnya memakan bangkai binatang laut. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan manfaat hukum tersebut dan hukum lain yang tidak terungkap, serta mempertegas adanya suatu kebutuhan mengenai hukum yang dimaksud. Ini merupakan bentuk pemberian fatwa hukum yang paling baik.

[4] HR Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû’ bi Mâ’ Al  Bahr”, [83], jilid I, hal. 85. Mawârid Adz-Dzam’ân kitab “Ath Thahâarah,” bab “Mâ Jâ’a fî Al Miyah” [19], jilid I, hal. 60. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Mâ’ Al Bahr” [59-333], jilid I, hal 50-176. Tirmidzi kitab “Abwâb Ath  Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Mâ’ Al Bahr annhu Thuhûrun” [69], jilid I, hal.100. Beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid II, hal. 361, jilid III, hal. 373. Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû’ bi Mâ’ Al Bahr” [386-387-388], jilid I, hal 136. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Syekh Ahmad Syakir dan dikategorikan hadits hasan oleh Al Albani kitab “Irwâ’ Al Ghalîl [13] namun beliau mengkategorikannya sebagai shahih dalam Shahîh an Nasai, jilid I, hal. 14 dan Shahîh Ibnu Mâjah [386].

[5] Hadits ini sebetulnya tidak diriwayatkan Imam Ahmad , tapi diriwayatkan oleh anaknya,  Abdullah bin Ahmad dalam az-Zawâ’id,  jilid I, hal.76. Ia dikategorikan sebagai sahih oleh Syekh Ahmad Syakir Rahimahullah dan diklasifikasikan sebagai hasan oleh Al Albani dalam irwâ’ Al Ghalîl [13].

[6] HR Muslim kitab “Ath Thahârah,” bab “fi Wudhu An Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam..”[19], jilid I.211. Musnad Ahmad, jilid IV, hal 39,40,41,dan 42. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,”bab “Al Wudhû’ Marratain, jilid I, hal.95. Tirmidzi dalam Abwâb Ath Thahârah,” bab Mâ Jâ’a annahu Ya’khudz li Ra’sih Mâ’an Jadîdan”[35], jilid I, hal. 50-51. Dalam riwayat Tirmidzi, menggunakan susunan redaksi, “Dengan air selain sisa kedua tangannya.” Lihat tahqiq Syekh Ahmad Syakir berkaitan masalah ini dalam Tirmidzi jilid I, hal. 50, 51 dan 53.

[7] HR Bukhari kitab “Al Ghusl,’ bab “Al Junûb Yakhruj wa Yamsyi fi as-Suq wa Ghairih,” jilid I,hal.79-80. Muslim kitab “Al Haidh,”, bab “ad-Dalîl ‘ala anna Al Muslim la Yanjusu” [115], jilid I, hal. 282. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “fi Al Junûb Yushâfih,” jilid I, hal. 52. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Mumâsah Al Junûb wa Mujâlasatuhu,” jilid I, hal. 145. Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “ Mâ Jâ’a fi Mushâfahah Al Junûb” [121], jilid I, hal. 207-208. Beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Mushâfahah Al Junûb” [534], jilid I, hal. 78. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid II, hal. 235.

[8] HR Bukhari kitab “Al Jumu’ah,” bab “Ghusl Al Mayyit wa Wudhuihi bi Al Mâ wa as-Sidr,” jilid I, hal. 93. Muslim kitab “Al Janâiz,” bab “fî Ghusl Al Mayyit” [40], jilid II, hal. 467. Nasai  kitab “Al Janâiz,” bab “Ghusl Al Mayyit Aktsar min Sab’ah” [1889], jilid IV, hal. 31. Tirmidzi kitab “Al Janâ’iz,” bab “Mâ Jâ’a fî Ghusl Al Mayyit” [990], jilid III, hal. 306. Beliau berkata, Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Majah kitab “Al Janâ’iz,” bab “Mâ Jâ’a fî Ghusl Al Mayyit” [2458], jilid I, hal.486.

[9] HR Nasai kitab “Al Ghusl,” bab “Al Ightisal fî Qash’ah fî ha atsar Al ‘Ajîn,” jilid I, hal. 202. Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “ar-Rajul wa Al Marâh Yaghtasilan min Ina’in Wahid” [378], jilid I, hal. 134. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 342. Al Albani mengklasifikasikan hadits tersebut sebagai shahih dalam Shahîh An Nasâ’i, jilid I, hal. 51. Ibnu Majah [378]. Misykat Al Mashâbih  [485]. Irwâ’ Al Ghalîl, jilid I, hal. 64.

[10] HR Bukhari kitab “Al Wudhû’,” bab “Tark An Nabi wa An Nas Al A’rabi hatta Faragha min Baulihi fî Al Masjid,” jilid I, hal. 65. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Ardh Yushibuha Al Baul,” jilid I, hal 91. Nasai kitab “Al Miyâh,” bab “At Tauqît fî Al Mâ’,” jilid I, hal. 175. Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî  Al Baul Yushib Al Ardh” [147], jilid I, hal. 275. Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Ardh Yushibuha Al Baul,” jilid I, hal. 176.

[11] Sumur Budhâ’ah terletak di Madinah. Abu Daud berkata: “Saya pernah mendengar Qutaibah Ibnu Sa’id berkata: ‘Saya bertanya kepada penjaga sumur Budhâ’ah: ‘Berapakah kedalaman sumur ini?’ Dia menjawab: ‘Jika airnya naik, maka kedalamannya akan mencapai setinggi pinggang (di bawah perut). Saya bertanya kepada lagi: ‘Sejauh manakah jika surut?’ Dia menjawab: ‘Jika surut, kedalamannya di bawah lutut’.” Abu  Daud berkata: “Saya pernah membentangkan kain selendangku ke dalam sumur Budhâ’ah untuk mengukur lebarnya. Ternyata lebarnya enam hasta. Saya juga bertanya kepada penjaga kebun sumur Budhâ’ah agar berkenan membukakan pintunya agar bisa menggapai airnya: ‘Apakah kondisi bangunan dan hAl hal lain di dalam sumur Budhâ’ah ini pernah dirubah?’ Dia menjawab: ‘Tidak!’ Saya melihat secara langsung bahwa air yang terdapat di dalam sumur itu berubah warna (keruh).”

[12] HR Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a anna Al Mâ’ la Yunajjisuhu Syai’un” [66], jilid I, hal. 96. Beliau berkata: “Ini hadits hasan.” Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Bi’r Budhâ’ah” [66], jilid I, hal. 54. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid III, hal. 31-86. As-Sunan Al Kubrâ oleh Baihaqi kitab “Ath Thahârah,” bab “At Tathahhur bi Mâ’ al_Bi’r, jilid I, hal. 4-jilid I, hal. 257. Daruquthni kitab “Ath Thahârah,’ bab “Al Mâ’ Al Mutaghayyir” [11], jilid I, hal. 30. Nasai  kitab “Al Miyâh,” bab “Dzikr Bi’r Budhâ’ah[326], jilid I, hal 175. Talkhîsh Al Hâbir, jilid I, hal. 13. Pengarang Talkhîsh Al  Hâbir berkata: “Ini hadits hasan.” Sanadnya telah dinilai baik oleh Abu Usamah. Ia dianggap shahih oleh Ahmad Ibnu Hanbal, Yahya Ibnu Mu’in dan Abu Muhammad Ibnu Hazm. Al Albani juga mengklasifikasikannya sebagai hadits shahih dalam Shahîh An Nasâ’i, jilid I, hal. 70. Shahîh At  Tirmidzi [66] Misykâh Al Mashâbih [228]. Shahîh Al Jâmi’ [1925-6640]. Irwâ’ Al Ghalîl [14].

[13] HR Abu Daud,  jilid I, hal. 17. Nasai jilid I, hal. 46. Tirmidzi [67]. Ahmad, jilid I, hal. 314. Daruquthni,  jilid I, hal. 187. Hakim dalam Al Mustadrak, jilid I, hal. 133. Al Albani mengklasifikasikannya sebagai hadits shahih dalam Irwâ’Al Ghalîl, jilid I, hal. 60 dan Shahîh Al  Jâmi’ [758].

[14] HR Muslim kitab “Ath Thahârah,” bab “Khidmah Al Ha’idh Zaujahâ,” jilid III, hal. 210. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Intifâ’ bi Fadhl Al Hai’dh,” jilid I, hal. 149. Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 210. Syarh as- Sunnah oleh Al Baghawi, jilid II, hal. 134 meskipun terdapat perbedaan dari segi redaksi hadits.

[15] Diriwayatkan dalam kitab Musnad asy-Syafi’i, hal. 8, bab “Mâ Kharaja min kitab Al Wudhû’,” Daruquthni kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Asar” [200], jilid I, hal. 62. Daruquthni berkata, “Di antara perawi hadits ini, ada yang bernama Ibnu Abu Habibah, beliau dikenal sebagai perawi dha’îf. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah.” Hadits ini terdapat dalam as-Sunan Al Kubrâ oleh Baihaiki,  jilid I, hal. 249. Pengarang Talkhîsh Al Hâbir berkata: “Hadits ini diriwayatkan dari Abu Sai’id, Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Namun dikategorikan sebagai hadits dha’îf oleh Daruquthni.” Riwayat Abu Sa’id terdapat dalam Sunan Ibnu Majah, sedangkan riwayat Ibnu Umar terdapat dalam Al Muwattha’, jilid I, hal. 41, secara mauqûf dari Ibnu Umar. Al Albani  mengklasifikasikannya sebagai dha’îf dalam kitabnya Tamâm Al Minnah [47].

[16] HR Daruquthni kitab “Ath Thahârah,” bab “Hukm Al Mâ’ idza Lâqathu An Najâsah” [30], jilid I, hal. 26. Hadits ini adalah dha’îf, bahkan Ibnu Hajar dalam At Talkhîsh dan asy-Syawkani mengklasifikasikannya sebagai hadits dha’îf. Demikian juga Al Albani  dalam Tamâm Al minnah [48].

[17] Diriwayatkan dalam Al Muwattha’ oleh Malik kitab “Ath Thahârah,” bab “Ath Thuhûr li Al Wudhû’ [14], jilid I, hal. 23-24. Baihaqi dalam as-Sunan Al Kubrâ, jilid I, hal. 250. Daruquthni  dalam SunAn nya, jilid I, hal. 22. Ia diklasifikasikan sebagai hadits dha’îf oleh Al Albani dalam Tamâm Al Minnah [48]. Hadits ini, diriwayatkan dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib bahwa Umar…bukannya Yahya bin Sa’id bahwa Umar…

[18] HR Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Su’r Al Hirrah,” jilid I, hal. 18. An Nasai  kitab “Ath Thahârah,” bab “Su’r Al Hirrah,” jilid I, hal. 55. Tirmidzi dalam “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Su’r Al Hirrah” [92], jilid I, hal. 153 dan beliau berkata: “Hadits ini, hasan lagi shahih .”: Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû’ bi Su’r Al Hirrah wa ar-Rukhshah fî Dzalik,” jilid I, hal. 131. Musnad Ahmad, jilid V, hal. 296, 3010 dan 309. Al Albani  mengklasifikasikannya sebagai shahih dalam Shahîh An Nasâ’i, jilid I, hal. 16-73. Shahîh Ibnu Majah [367. Irwâ’ Al Ghalîl [173], dan Shahîh Al Jâmi’ [2437].

[19] HR Bukhari kitab “Al Wudhû’,” bab “Al Mâ’ Al  Ladî Yahsil bihî Say’r Al Insân,” jilid I, hal. 54. Muslim kitab ”Ath Thahârah,” bab “Hukm Wulugh Al Kalb,” jilid III, hal. 182. Nasai  kitab “Ath Thahârah,” bab “Su’r Al Kalb,” jilid I, hal. 52 (Terdapat perbedaan dari segi susunan lafal). Musnad Ahmad, jilid II, hal. 460. Sunan Al Baihaqi kitab “Ath Thahârah,” bab “Ghusl Al Ina’ min Wulugh Al Kalb Sab’a Marrat,” jilid I, hal. 240-256.

[20] HR Muslim kitab “Ath Thahârah,” bab “Hukm Wulugh Al Kalb,” [91], jilid I, hal. 234. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû bi Su’r Al Kalb,” jilid I, hal. 17. Musnad Ahmad, jilid II, hal. 427. Baihaqi, jilid I, hal. 240.

@Hasan Al Banna

Friday, March 23, 2012

Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 4

Jilid 3                                                                                                                                          Jilid 5
========================================================================

“Assalamualaikum!” salamku pada penghuni rumah.
“Walaikumsalam!” serentak jawaban para orang-orang yang ada didalamnya.
Ustad Fadlan menghampiriku lalu memelukku. Pelukan yang membuatku
merasakan keindahan persaudaraan. “Khaifa khaluk, akhi?” tanya ustad Fadlan
“Alhamdulillah, be khoir ustad!” jawabku
Setelah itu ustad Fadlan mempersilahkan aku masuk kedalam rumahnya. Ternyata
semua saudara-saudara seimanku pun telah datang lebih awal dariku. Irwan, Hamsah,
Feri, Abidin, Rochim sudah menanti kedatanganku. Setelah aku menyalami mereka
semua. Kajianku pun dimulai.
Ustad Fadlan menerangkan tentang keimanan dengan sangat baik. Tutur katanya
lembut dan mengena pada setiap relung jiwa. Tata bahasa diatur sedemikian rupa agar
tidak menyinggung orang yang mendengarkannya. Sehingga, kita dapat mencerna apa
yang dikatakan oleh ustad Fadlan. Keimanan adalah sebuah unsur untuk dapat
mengetahui, apakah kita memang benar-benar meyakini keberadaan Allah, atau malah
kita tidak meyakini keberadaan Allah.
“Keimanan adalah keyakinan kita terhadap sesuatu, jika kita meyakini adanya
keberadaan Allah. Maka hanya Allah lah yang seharusnya dihati kita. Tidaklah seorang
yang menyatakan diri beriman kepada Allah sedangkan dia masih takut pada selain
Allah. Jikalau kita takut pada selain Allah, maka kita beriman pada apa yang kita takuti
tadi, bukan beriman kepada Allah.” ucapan ustad Fadlan sangat menyentuh kalbuku.
Setelah ustad Fadlan banyak memberikan taujihnya kepada para pencari
kebenaran. Kami berenam ditanya satu-persatu tentang permasalahan yang ada pada
kami. Disinilah ajang curhat para aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah tidak akan
langsung meluapkan masalahnya secara sembarangan kepada setiap orang yang dikenal.
Tiada keluh kesah yang diluapkan kepada manusia, melainkan membuka sebuah wacana
solusi pada setiap individu yang sedang dilanda masalah. Jadi bukan berarti, seorang
aktivis dakwah yang sedang curhat kepada murabbinya adalah orang yang bermental
lemah. Atau bahkan minta dikasihani. Bukan, bukan seperti itu. Seorang aktivis dakwah
yang sedang curhat kepada murabbinya adalah merupakan membuka peluang masalah
yang sedang terjadi pada individu untuk diselesaikan bersama-sama. Sehingga jika ada
seorang aktivis dakwah yang sedang dihadang masalah, selain dia meminta kepada Allah
untuk menyelesaikan masalahnya. Juga membagi ladang pahala bagi saudaranya untuk
menyelesaikan masalahnya.
Dengan begini seorang aktivis dakwah dituntut untuk selalu tahu tentang
permasalahan saudaranya. Sehingga diharapkan, rasa persaudaraan itulah yang

mendorong satu dengan lainnya menciptakan ikatan tali ukhuwah yang sangat erat. Dan
seharusnya tidaklah seorang saudara meminta bantuan atau bahkan belaskasihan kepada
saudara lainnya, tetapi seharusnya aktivis dakwah mengetahui apa yang dibutuhkan
saudaranya dan membantu sebelum saudaranya meminta bantuan atau bahkan yang
menghinakan saudaranya, yaitu meminta belaskasihan.
“Ustad, ana ada permasalahan!” ucap Hamsah.
“Iya, antum ada persoalan apa?” jawab ustad Fadlan dengan lembut.
“Gini, Ustad. Ana ada persoalan tentang ruhiyah ana! Ana rasakan, ruhiyah ana semakin
lama semakin menurun. Ana kok merasa futur, Ustad. Ana masih bingung kenapa iman
ana melemah hari demi hari!” Hamsah sejenak berfikir, lalu melanjutkan keluh kesahnya
“ana menjadi begitu tidak bersamangat untuk berdakwah. Langkah-langkah ana begitu
berat dan gamang dalam setiap dakwah ana! Ana butuh pencerahan kembali, Ustad!”
Hamsah menyelesaikan dengan menghembuskan nafas panjang.
“Hem, iya ana mengerti, Akh! Apa yang antum rasakan memang beberapa kali sering
menghinggapi pada perasaan kita. Kadang kita merasa sangat bersemangat sekali,
sehingga seakan-akan bahwa kekuatan semangat kita tidak akan terbendung! Tetapi
dalam waktu tertentu, ghiroh (semangat) kita menjadi melemah, atau bahkan luntur. Ini
menjadi pelajaran yang baik bagi kita semua!” sejenak Ustad Fadlan tersenyum, lalu
melanjutkan taujihnya “ikhwa fillah, saat ghiroh kita dalam semangat, puncaknya adalah
saat kita tidak dapat mencapai apa yang kita inginkan. Sehingga semangat kita menjadi
kendur, atau melemah. Dan lama kelamaan akan terkikis habis. Maka dari itu, kenapa
kita sangat perlu adanya Liqo’(pertemuan/berkumpul). Dengan adanya Liqo’ semangat
kita yang semula luntur, Insya Allah akan bangkit kembali. Atau kalau lah semangat kita
luntur tidak begitu drastis penurunannya. Ibaratnya adalah handphone yang perlu di
charge. Maka kita juga perlu untuk di charge kembali. Untuk menumbuhkan keimanan
kita kembali. Untuk mengisi melemahnya ruhiyah kita, saat menghadapi permasalahan-
permahasalan yang berat!” ucap Ustad Fadlan dengan sikap tegasnya. “Akhi Hamsah.
Coba pikirkan kembali apa yang membuat ghiroh antum melemah?” tanya Ustad Fadlan.
Hamsah terlihat sedikit mengerutkan dahinya, mencoba untuk memikirkan apa yang
membuat semangat dia luntur. Tak lama setelah itu “Hem, Insya Allah ana sudah
menemukan penyebab permasalahan ana ini ustad!” ucap Hamsah serius.
“apa itu, yaa akhi?” tanya Ustad Fadlan
“akhir-akhir ini banyak Al Akh, yang meminta tolong ke ana untuk mengerjakan sesuatu
yang berhubungan dengan dakwah kita. Karena memang itu profesi ana, sehingga Al Akh
banyak datang ke ana. Ana mengerjakan lebih dulu permintaan Al Akh, ketimbang
pesanan orang lain. Dana-dana yang lebih dulu masuk, ana arahkan semuanya ke pesanan
Al Akh. Sehingga pesanan-pesanan banyak yang terbangkalai. Setelah ana selesai
mengerjakan pesanan Al Akh. Ana jadi tidak bisa mengerjakan pesanan yang lain. Dan
membuat dana-dana dari usaha ana macet. Karena pembayaran dana dari Al Akh, masih
belum dibayar. Usaha ana benar-benar collaps, dan saat ini pesanan-pesanan yang lain
masih tetap belum bisa ana kerjakan, karena berhubungan dengan dana tadi!” Hamsah
mengerutkan dahinya, setelah itu dia melanjutkan perkataannya “dan kemudian ana, jadi
berfikir. Bahwa berdakwah harus siap untuk rugi. Tetapi ana juga berfikir, bahwa jika ana
rugi terus-menerus. Maka usaha ana nggak akan jalan! Mungkin, itu yang membuat ana
futur ustad”
Ustad Fadlan terlihat mengerti dengan apa yang dialami oleh Hamsah. Tak lama setelah
itu, Ustad Fadlan berkata “iya, inilah Akh yang ana sering bilang kepada setiap Al Akh.
Banyak Al Akh yang salah kaprah tentang memahami arti dakwah. Mereka mengira
dengan mangatas namakan dakwah, meraka dengan mudahnya meminta bantuan kepada
Al Akh yang lain. Tetapi bantuan yang diberikan tidak di imbangi dengan kontribusi yang
lain. Kadang setelah Al Akh puas dengan hasil kerja kita, mereka hanya mengucap,
Syukron, Jazakallah atau perkataan yang lainnya. Padahal kontribusi dari dakwah itu ada
imbalbaliknya. Bukannya kita terus mengimbal tanpa ada baliknya. Dan dakwah bukan
berarti harus merugikan kita. Seharusnya imbalbalik dari dakwah itu adalah menciptakan
suasana yang Islami. Contohnya, dalam Islam diharuskan untuk membayar orang yang
telah bekerja sebelum keringat orang yang bekerja itu mengering. Ini merupakan perintah
langsung dari Rasulullah. Sedangkan kalau hanya dibayar dengan ucapan syukron,
jazakallah. Apakah kita dapat memberikan makan anak dan istri kita dengan perkataan
itu! Memang itu juga salah satu penyebab seorang menjadi futur. Sehingga semangat
untuk berdakwah lama-kelamaan akan terkikis habis. Dan perekonomian umat Islam
tidak akan berjaya, jika harus dibayar dengan perkataan! Karena Rasulullah pun bersabda
yang pada intinya, kemiskinan itu akan menyebabkan kekufuran.”
“Wah saya kok jadi tersindir yach!” celetuk Irwan.
“Ggeerrrr........” serempak semua tertawa.
“Kalau kita sich akh, bukan bermaksud untuk tidak membayar. Tapi kita ngutang dulu!”
ucapku.
“Kalau antum berdua sich ana udah tau, antum kan raja ngutang! Biasalah mahasiswa,
ngontrak lagi!” jawab Hamsah. Yang akhirnya membuat kita tertawa lagi.
Ustad Fadlan tersenyum, lalu setelah itu bertanya “Akhi Hamsah. Usaha antum rugi
berapa? Dan butuh dana berapa?”
“Usaha ana sekarang agak tersendat Ustad. Rugi sekitar 4 jutaan!” jawab Hamsah.
Ustad Fadlan mengangguk tanda mengerti, lalu ustad Fadlan beranjak berdiri sambil
mengatakan “Afwan, sebentar ana tinggal kebelakang!”
Serempak kita menjawab “tafadhol, Ustad!”
Aku dan Irwan tersenyum, tak lama Irwan berkata “wah Ustad, tau saja kalau kita sedang
lapar!”
Serentak kami pun tertawa lagi.
“Hehe.... Antum tau juga, apa yang ada dalam pikiran ana!” kataku.
“Dasar.. mahasiswa!” celetuk Feri.
Tak lama Ustad Fadlan datang. Tak lupa membawa boncengannya.
“hehe... Ustad tahu saja kalau kita lagi mengharapkannya!” ucap Rochim
Ustad Fadlan tersenyum. Tak lama Ustad Fadlan berkata “Akh, Hamsah. Ini ana punya
simpanan uang 4 juta. Antum silakan ambil. Kalau misalkan uang dari Al Akh yang lain
sudah dibayarkan. Baru silakan dikembalikan. Kalaulah memang belum dapat
dikembalikan, antum pakai dulu tidak apa-apa.” Ustad Fadlan terlihat sangat tulus sekali
saat memberikan uang itu.
Subhanallah ucapku lirih dalam hati. Sungguh seharusnya, seperti inilah seorang dai.
Seperti apa yang dilakukan oleh Ustad Fadlan. Sebuah contoh yang sangat bagus. Tidak
hanya berdakwah dengan kata-kata, tetapi diimplementasikan dengan perbuatan.
Manakala seorang saudara muslim membutuhkan bantuan. Maka dengan cepat saudara
muslim yang lainnya menolongnya. Inilah yang seharusnya dipegang umat Islam. Saat
saudaranya sedang butuh pertolongan. Sebelum saudaranya meminta bantuan, maka
saudara yang lainnya langsung menawarkan bantuan. Subhanallah.
“Nggak usah, Ustad! Biar ana menunggu uang pembayaran dari Al Akh saja Ustad.” Ucap
Hamsah.
Allahu Akbar ucapku dalam hati. Sungguh memang seharusnya seperti inilah muslim.
Dia tidak mengharapkan bantuan saudaranya yang lain. Selama dia masih bisa bertahan.
Dan bahkan tidak membutuhkan rasa dikasihani oleh saudara yang lainnya. Inilah yang
seharusnya menjadi sebuah contoh. Aku tak habis pikir. Peristiwa sahabat Rasulullah
terulang kembali. Saat terjadi peperangan, beberapa sahabat Rasulullah sangat
membutuhkan air. Tapi apa yang dilakukan oleh sahabat yang membutuhkan air itu. Dia
bahkan mementingkan saudara yang lainnya. Sahabat Rasulullah ini memberikan air
yang sangat dibutuhkan itu pada sahabatnya yang lain. Sungguh peristiwa yang sangat
luar biasa. Tingkatan keimanan yang paling tinggi itsar (mementingkan saudaranya
ketimbang dirinya sendiri) telah dilakukan oleh saudaraku.
“Tidak, Akh! Kelihatannya, antum lebih memerlukan uang itu dari pada ana. Ambil saja,
ana masih belum begitu membutuhkannya” ucap Ustad Fadlan. “sudahlah Akh, terima
saja! Kelihatannya antum lebih memerlukannya ketimbang ana. Biar nanti usaha antum
dapat berjalan lebih optimal” Ustad Fadlan mencoba untuk mempertegas ucapannya.
“Hem,” Hamsah sedikit berfikir. “kalau begitu syukron Ustad!” jawab Hamsah, sambil
menerima uangnya.
“Afwan!” jawab Ustad Fadlan sambil tersenyum lega.
Sebuah hal yang dapat aku petik hikmahnya. Sebuah fenomena yang membedakan antara
umat muslim dan umat yang lainnya. Sebuah karekter dasar yang seharusnya sudah
tertanam dibenak umat Islam sejak lama. Sebuah tauladan yang telah dicontohkan oleh
Muhammad Rasulullah Saw. Hingga akhirnya, umat Islam lah yang seharusnya berjaya.
“Wah, antum sudah siap untuk usaha lagi nich.” Ucap Abidin.
“Siap usaha, and siap menikah!” timpal Rochim
serempak kami tertawa. Ustad Fadlan hanya tersenyum.
“Iya, kok kalian hanya tertawa! Padahal Rasulullah mengajarkan kepada para pemuda
untuk bersegerah menikah, bagi yang sudah mampu. Dan ana yakin kalian sudah mampu.
Jangan jadi alasan karena nggak punya penghasilan atau pekerjaan yang tetap,
menjadikan kalian menghambat pernikahan! Ingat loh pernikahan itu juga termasuk
membuka pintu rezeki” taujih Ustad Fadlan.
Tak pelak kami pun semua tersenyum, sambil melirik satu sama lainnya.
“Maka dari itu, kalian harus bersegara. Banyak akhwat yang belum menikah loh, Akh!
Masa kalian membiarkan akhwat-akhwat sendiri dalam perjuangannya.” Ucap lanjut
Ustad Fadlan.
Kami masih tetap tersenyum penuh arti. Entah itu senyuman pengharapan, ataukah
senyuman karena malu. Aku tak tahu. Yang penting senyumku adalah senyum
pengharapan. Senyum yang mengharap mendapatkan bidadari untuk menemaniku
berjuang dalam dakwah ini. Aku jujur loh.
Entah sudah berapa lama kami berkumpul. Berkumpul untuk saling mengingatkan
tentang agama yang haq ini. Yang menjadikan kami terus mengingat tentang pentingnya
berdakwah. Apalagi pentingnya jalan menuju surga Ilahi. Dan tak kalah pentingnya
mendapatkan bidadari. Nah kan, bidadari lagi.
Tak terasa mentari sudah akan menyiapkan tempat tidur yang enak. Serta kasur
yang empuk, hingga akhirnya surya pun berangsur-angsur tenggalam dengan membawa
sinar kehangatanannya. Dan menjadi saksi perjuanganku. Perjuangan yang tak akan
pernah henti sampai kapanpun, hingga akhirnya akupun berada diatas sang surya. Tunggu
aku wahai mentari.
***
“Krriiiiiiiinggg.............” Jam wakerku berbunyi keras sekali. Keras, tetapi tidak
sekeras cambuk malaikat dineraka nanti. Aku terbangun. Aku lihat Lorus, jam wakerku.
Menunjukkan pukul tiga pagi. Saat-saat yang paling dinanti. Dinanti, oleh para malaikat
yang memburu manusia-manusia, yang terbangun dari tidurnya. Dan menegakkan sholat
untuk Rabbnya. Hingga malaikat-malaikat tersenyum, seraya mengatakan “Wahai
Tuhanku, janganlah engkau menyiksa para manusia-manusia yang terbangun disepertiga
malam ini. Saat mereka terbangun dan menyembahmu! Menyembah dengan berharap
kepadaMu. Wahai Rabb, jadikan manusia-manusia ini sebagai mujahid-mujahidahmu.
Yang kelak akan engkau masukkan kesurga, yang telah engkau janjikan nanti”
Aku mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. Menapak dengan kaki gontai yang
teramat sangat. Karena rasa kantuk yang datang menggebu. Menggebu-gebu seraya
melarangku untuk datang bersimpuh, meminta ampun dan pertolongan kepada sang
Maha Pencipta alam. Allah Swt. Sungguh ini menjadikan rasa jihad yang sesungguhnya.
Jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan sifat burukku. Tapi, itu bukan jihad yang
sesungguhnya. Karena jihad yang sesungguhnya, adalah melawan penguasa yang zalim
kepada umat Islam. Langkah kakiku terasa berat, tetapi tetap aku berusaha melangkah.
Melangkah dalam setiap langkah yang berpahala. Air kran aku nyalakan, sungguh segar
nikmat dingin air sepertiga malam. Hingga aku kedinginan. Aku basuh semua yang
seharusnya dibasuh, aku bersihkan semua yang seharusnya dibersihkan. Dari tubuhku ini.
Hingga aku menjadi suci. Suci dalam pandangan Ilahi. Wudhu sudah selesai aku lakukan.
Kini aku kembali berjalan. Berjalan menuju kamar kusam, yang terawat rapi.
Kubentangkan sajadah berlambang Ka’bah. Yaa Rabb, aku menghadapmu.
Sayup-sayup terdengar tartil Al Qur’an mengumandang pada masjid dekat
kontrakan. Sudah biasa. Sholat tahajjud, sudah aku selasaikan. Tinggal kini menanti
datangnya shubuh.
Terdengar suara keras dari kamar Deni “BRUAAAK....”
Serentak semua penghuni kontrakan keluar kamar semua.
“Ada apa, Akh?” tanyaku pada saat melihat Yanto yang sudah berada didepan kamar
Deni.
“Ana juga tidak tau, Akh!” jawab Yanto bingung
Kini penghuni kontrakan sudah berada didepan kamar Deni. Yanto, Heri, Samsul juga
termasuk aku.
“Akhi, Deni! Antum kenapa?” panggilku sambil mengetuk pintu kamar Deni.
Tetapi tetap tidak ada jawaban sama sekali. Kami semua menjadi panik. Tak biasanya
seorang Al Akh yang kami panggil, tidak menyahut panggilan kami. Deni tetap tidak
bersuara.
“Udah kita, kita dobrak saja!” usul Samsul, panik.
“Iya kita dobrak saja!” serentak Yanto dan Heri menyetujui usul Samsul.
Saat pintu akan didobrak. “sebentar-sebentar akh, jangan dobrak dulu! Kita lihat dulu
apakah kamar ini dikunci apa nggak” ucapku, dengan langsung memegang gagang pintu.
“Nah, kan nggak dikunci! Ngapain harus mendobrak segala, habis-habisin energi” ucap
Samsul enteng
“Yee... yang usul dobrakkan antum, Akh!” jawab Heri kesal.
“Udah-udah, kita langsung aja lihat kondisi Akhi Deni sekarang!” ajakku sambil
tersenyum. Tersenyum karena sifat kedua saudara seimanku ini.
Saat kami membuka pintu kamar Deni. Terlihat tubuh Deni terkapar dilantai dengan
barang-barang yang berserakan. Kami semua sangat cemas dengan keadaan Deni.
Dengan cepat aku langsung memeluk tubuh Deni.
“Akh, bangun! Antum kenapa? Akhi, sadar akh!” teriakku. Aku benar-benar sangat
panik. Mengingat bahwa aku adalah yang paling tua dikontrakan.
“Akhi, bangun akh! Sadar Akh” Yanto dengan agak berteriak.
Sedikit demi sedikit Deni membuka matanya. Dengan mengucek matanya dan terlihat
sedikit bingung.
“Ada apa, akh? Kok tumben rame-rame! Tidur ana jadi terganggu.” Ucap Deni dengan
bingung
“Loh antum nggak kenapa-napa, Akh?” tanya Yanto.
“Emang, ana kenapa?” tanya Deni bingung
“Hem, antum nggak ngerasa bikin kita panik yach!” sahut Heri.
“Iya, akh! Tadi di kamar antum terdengar bunyi keras sekali. Seperti ada benda jatuh
dikamar antum!” ucap Samsul.
“Iya! Makanya kami langsung kesini” timpal Yanto
“Bener! Saat kita tiba, antum sudah tergeletak dilantai. Dan barang-barang antum
berserakan semuanya” sahut Heri lagi.
“Ana nggak apa-apa kok. Mungkin, ana terjatuh dari kasur!” jawab Deni sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Yee.... Antum itu kebiasaan. Kalau tidur nggak bisa dibangunin. Ya, gini akhirnya!
Sampai-sampai jatuh nggak ngerasa jatuh, saking lelapnya!” ucap Yanto
“Kali aja, emang nggak pernah baca doa sebelum tidur!” timpal Samsul.
“Iya, bener! Pasti, tadi nggak sholat tahajjud” sahut Heri
Deni masih terlihat bingung sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dan terlihat hanya
nyengir karena malu.
“Udah-udah! Sekarang sholat shubuh. Tuh sudah adzan” selaku.
Kami pun beranjak pergi kekamar masing-masing, untuk mengambil sajadah. Setelah itu
kami berangkat pergi ke masjid bersamaan.
***
Selesai pulang dari masjid. Aku langsung mengambil al ma’tsurat. Dzikir pagi dan
petang. Teman-teman kontrakanku, sudah kembali menjalankan aktifitas yang tertunda.
Menjalankan, apa yang sudah menjadi rutinitas mereka. Meneruskan mimpi-mimpi
indahnya. Bertemu dengan bidadari surga. Nahkan, bidadari lagi.
Sudah jadi kebiasaan dikeluargaku. Kalau sudah bangun pagi, sholat shubuh.
Dilarang untuk kembali tidur. Bapakku, bisa ngomel-ngomel seharian. Kalau tahu
anaknya tidur setelah sholat shubuh. Katanya nanti nggak disiplin lah, orang yang tidur
itu nggak dapat rezekilah atau pintu rezeki ditutup oleh Allah. Aku dulu, jengkel juga
sama Bapak. Masa, orang masih ngantuk-ngantuknya tidak boleh melanjutkan tidur.
Malah disuruh untuk mandi. Kan, dingin.
Tapi setelah itu aku benar-benar tahu kenapa Bapak menyuruh keluarga kami
untuk tidak kembali tidur selesai sholat shubuh. Hikmah yang paling mendasar baru aku
ketahui saat ini. Saat aku sudah terbuai dengan kenikmatan dakwah ini. Kenikmatan yang
akan memberikan aku pencerahan kembali. Pencerahan atas nama Rabb penguasa alam.
Atas nama Al Haq dari segalanya. Dari apa yang ada di alam semesta ini. Sang Ilahi.
Pukul 05.30, sudah kebiasanku juga. Setiap pagi harus selalu diselingi dengan
olah raga. Minimal pemanasan otot dan lari pagi. Atau kalau lagi malas, biasanya aku
bermain sepak bola, di komputerku. Bisa untuk melemaskan otot-otot tangan dan
jemarikan!. Setelah itu, baru mandi.
“Tlluuutt....tlluuuut” telfon berdering tepat pukul 06.00. Saat itu aku sedang asyik-
asyiknya bermain sepak bola, liga Italy di komputerku. Karena asyik banget, akhirnya
aku biarkan saja. Itung-itung bikin teman-teman bangun, dan mengangkat telphonenya.
Benar juga, akhirnya Deni yang mengangkat telphonnya.
“Akh, Khalid. Ada yang telephone!” panggil Deni.
“Tumben, ada yang menelephonku pagi-pagi. Biasanya, pagi-pagi seperti ini Samsul
yang dapat telephone. Kadang, para Akhwat yang nelphone Samsul. Ngingetin kalau
siangnya ada Syuro’. Biasalah ketua LDK. Yang pelupa, dan susah diingetin. Gimana
mau ngingetin, ponsel aja kadang masih pinjem teman-teman. Hem, sama kayak aku
dulu.” Aku pause FIFA ku. Lalu melangkah untuk menerima telephone.
“Wah, akhi Khalid! Pagi-pagi sudah ditelphone akhwat. Suaranya merdu loh akh.
Ingatlah akh. Awas, berkhalwat.” Ucap Deni bercanda.
“Hem, kok mikirnya su’udhon terus! Nich ikhwan, lupa sama akhlaq yach?” jawabku
sekenanya, sambil mengambil gagang telphone.
“Afwan, bercanda akh!” jawab Deni.
“Assalamualaikum!” salamku pada seorang yang menelphoneku.
“iya, ini Khalid yach?” jawab si penelphone.
Nih akhwat, di doa’in kok nggak bales doa sich. gumamku kesal, dalam hati. “iya benar,
ini Khalid! Mbak siapa yach?” jawabku.
“Khalid, ini aku! Nova” jawab si penelphone
Aku terpaku, termangu. Nova, gadis cantik yang aku lihat. Gadis, yang membuatku
melupakan kenikmatan untuk menyembah Al Haq. Melupakanku dalam memohon
ampunan dosa-dosaku. Gadis, yang membuat dosa baru buatku. Gadis, yang melenakan
aku dengan Ilahi.
“Hallo, Khalid! Kamu kok diam? Kamu kenapa?” ucap Nova kebingungan.
“Nova? Yang temannya Hendra itu yach?” tanyaku.
“Iya! Apa kamu lupa?” jawabnya singkat
“Oh, iya aku ingat! Kamu dapat nomor telponku dari mana?” tanyaku heran
“Dari, Hendra! Kenapa?”
“Oh nggak apa-apa! Cuman, nanya aja kok. Ada, keperluan apa Nov” ucapku
“Gini, Khalid. Aku pengen tanya-tanya kekamu, tentang Islam! Aku pengen balajar
banyak tentang Islam” Jawabnya
Hem. Ada apa nich, kok nich cewek langsung pengen tanya-tanya tentang Islam.
gumamku dalam hati. Aku langsung teringat. Teringat dengan Nova. Teringat dengan
wajahnya. Teringat dengan akhwat, yang sama persis dengan wajahnya Nova. Teringat
dengan rencanaku memadu-memadukan wajah akhwat itu dengan Nova. Teringat aku
akan meminta tolong sama Deni, untuk mendesain wajah akhwat itu dengan wajahnya
Nova. Tetapi aku harus tetap khusnodhon terhadap Nova. Aku takut, jangan-jangan jika
aku berfikir yang tidak baik maka Allah akan mengabulkan apa yang aku pikir. Karena
Allah kan menurut apa yang diprasangka hambanya. Jadi, aku harus berprasangka baik.
Biar Allah mengambulkan kebaikan itu pula.
“Wah, aku jadi tersandung ee tersanjung! Seorang ketua UK3 mau belajar agama Islam”
jawabku sekenanya.
“Yee... orang mau belajar kok diolok-olok!” ujar Nova, terdengar sinis.
“Nggak! Bukan aku bermaksud mengolok-olok, cuman aneh aja” jawabku
“Nggak anehlah! Seorang yang ingin mengetahui agama orang lain, itukan wajar!”
jawabnya
Kini saatnya aku harus mendakwai orang non muslim. Kini saatnya, aku membuktikan
kebenaran ajaran Islam. Meskipun benak-benak qolbu berontak, bertanya-tanya tentang
kebenaran ketulusan Nova dalam belajar agama Islam. Tapi kalaulah seandainya dia
memang ingin berdebat denganku. Insya Allah, aku sudah bersiapsiaga.
“Hem, Ok deh! Kapan bisa mulai?” tanyaku
“Kamu, punya waktu kapan?” Nova balik bertanya.
“Insya Allah, nanti siang aku ada waktu!” jawabku enteng.
“Kalau jam 8 pagi, gimana?” tawarnya.
“Waduh, sorry! Aku ada bimbingan kalau jam segitu” jawabku.
“Baik, nanti jam 1 siang aku tunggu” jawabnya
“Tempatnya, dimana?” tanyaku
“Enaknya dimana yach? Kalau di kantin gimana?”
“Wah, kalau dikantin nggak kondusif. Lebih baik ditempat yang tenang aja”
“Hem kalau gitu, selesai kuliah aku tunggu kamu di Fakultas ekonomi kelas A”
“Ok, aku akan kesana!”
“Kalau gitu, sampai nantinya yach!”
Saat Nova akan menutup telefonnya.
“Eh, tunggu-tunggu Nov. Jangan ditutup dulu telpnya!” sergahku
“Ada apa, Lid?” Nova terdengar agak heran.
“Enggak, gini loh. Kalau bisa, nanti kamu membawa teman yach! Biar kita nggak
berdua-duaan” pintaku.
“Loh, apa kamu nggak pengen berdua-duaan denganku, Lid? Kan, enak dua-duaan!”
jawab Nova sambil tertawa.
“Maaf, Nov. Kalau gitu aku nggak jadi aja deh! Aku nggak pengen melanggar apa yang
telah diatur oleh agamaku” jawabku ketus.
“Loh, sebentar Lid! Aku tadi cuman bercanda aja kok. Jangan dimasukkan kehati gitu
dong! Ok lah, kalau kamu pengennya seperti itu. Aku akan ajak temenku Rani, Dewi dan
Hendra” jawabnya
“Nah, begitu kan lebih baik! Tidaklah diperbolehkan dalam Islam, laki-laki dan
perempuan itu bercampur baur atau bahkan malah berdua-duaan. Karena itu adalah
mendekati dosa! Dan, kalau untuk bercampur baur. Nanti aku akan atur biar nggak
terkesaan bercampur antara wanita dan laki-laki.” Jawabku mantap.
“Hem. Ok Lid! Aku tungguh, da.....h!”
setelah itu yang terdengar hanya nada “tuttttt......”
Aku tutup telponku. Setelah itu, aku kembali lagi kekamarku. Hilang sudah
semangatku yang tadi telah berkobar-kobar berjuang untuk mengalahkan Roma. Dalam
games FIFAku. Aku matikan games FIFA, setelah itu aku gantikan dengan winamp.
Dengan serta mertapun semangatku kembali berkobar.
“Tujuan kita Allah yang perkasa
Teladan kita Muhammad tercinta
Panduan kita Al Qur’an mulia
Cita-cita kita Syahid dijalan Allah
Islam adalah Satu
Satu iman satu jiwa satu hati
Adilnya tertinggi dihadapan Rabbi
Pada api bagi hindi tirani
Islam adalah Satu
Satu pengorbanan dalam perjuangan

Menggenggam dunia selimuti angkasa
Kibarkan panji-panji kemenangan
Bangkit dan bersatulah
Satukan tekat tuk raih kemenangan
Naungi dunia dengan kedamaian
Dibawah panji Islam nan mulia”

Saturday, March 3, 2012

Hikmah Pagi Akhir Pekan



Majalah Muslim - Ada seekor siput selalu memandang sinis terhadap katak. Suatu hari, katak yg kehilangan kesabaran akhirnya berkata kepada siput:

"Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?"

Siput menjawab: "Kalian kaum katak mempunyai empat kaki & bisa melompat ke sana ke mari,
Tapi saya mesti membawa cangkang yg berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih."

Katak menjawab: "Setiap kehidupan memiliki penderitaannya masing², hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami (katak)."

Dan seketika, ada seekor elang besar yg terbang ke arah mereka, siput dg cepat memasukan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak dimangsa oleh elang...

Akhirnya siput baru sadar... ternyata cangkang yg di milikinya bukan merupakan suatu beban... tetapi adalah kelebihannya...

NIKMATILAH KEHIDUPANMU APA ADANYA SAAT INI, TAK PERLULAH KAU BANDINGKAN DENGAN KENIKMATAN ORANG LAIN.

KEDENGKIAN KITA PADA NIKMAT ORANG LAIN, HANYA AKAN MENAMBAH PENDERITAAN DAN KURANG BERSYUKUR AKAN NIKMAT YANG KITA MILIKI SAAT INI...
========================================================================

Kembali pd Kurangny rasa Syukur manusia dg apa yg tlh ddpt dan rasa Ikhlas utk menerima suatu kegagalan,
Rasa Ikhlas ad hny saat qta mendapat apa yg qta ingin, namun apa pernah qta dpti rasa Ikhlas itu muncul dlm kegagalan dan sesuatu yg tak diingnkan!

Semoga qta trmsk hamba Alloh yg sll BerSyukur dan Ikhlas dg hasil apapun yg dtrima.
@Igo Chaniago