Sayyid Sabiq |
Hukum air mutlak adalah thahûrun (suci dan menyucikan). Dengan kata lain, air mutlak itu suci pada zatnya dan dapat menyucikan benda lain. Ada beberapa macam air yang dikategorikan air mutlak, yaitu:
1. Air Hujan, salju dan embun.
Mengenai hal ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “… dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (Al Anfâl [8] : 11)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, “Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (Al Furqân [25] : 48)
Juga berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ánhu, ia berkata, “Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Takbir dalam shalat, beliau berdiam sesaat sebelum membaca surah Al Fâtihah. Lantas aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah! Demi kemuliaan ibu dan bapakku, apa yang engkau baca ketika berdiam sesaat di antara takbir dan membaca Al Fâtihah?’ Rasulullah menjawab, “Aku membaca, “Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan jarak antara Timur dengan Barat. Ya Allah bersihkanlah diriku dari semua kesalahanku sebagaimana kain putih yang telah bersih dari kotoran. Ya Allah, basuhlah kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.”[2]
2. Air laut
Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ánhu Ia berkata, “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam., ‘Wahai Rasulullah, kami berlayar mengarungi lautan dan hanya membawa sedikit air. JIka kami menggunakannya untuk berwudhu, kami akan mengalami dahaga. Bolehkan kami berwudhu dengan air laut?’ Rasulullah menjawab,
“Air laut itu suci[3], dan bangkai (yang terdapat di dalamnya) halal (dimakan).”[4] (HR Bukhari, Muslim, Abu daud, Tirmidzi dan An Nasai). Imam Tirmidzi berkata, Hadits ini hasan dan shahih. Saya pernah bertanya kepada Muhammad Isma’il Al Bukhari mengenai hadits ini dan beliau menjawab, bahwa hadits ini shahih.
3. Air Zamzam
Hal ini berdasarkan pada hadits yang bersumber dari Ali radhiyallahu ánhu. Ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah meminta seember air zamzam, lalu beliau meminumnya kemudian berwudhu dengannya..”[5] (HR Ahmad)
4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang
Air ini tidak mengalir, atau bercampur dengan sesuatu yang sulit dipisahkan, seperti lumut dan dedaunan pohon. Menurut kesepakatan ulama (ijma’), air seperti ini termasuk air mutlak.
Pada dasarnya, segala jenis air dalam pembahasan di sini yang dapat disebut air, mutlak tanpa dikaitkan dengan unsur-unsur lain dapat digunakan untuk bersuci. Allah subhanahu wa ta’ala. Berfirman, “…lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.” (Al Mâ’idah[5] : 6)
Kedua: Air Musta’mal (air yang pernah digunakan)
Air musta’mal adalah air yang pernah dipergunakan untuk mandi besar atau berwudhu. Hukum air semacam ini adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci, sebagaimana air mutlak dengan tanpada ada perbedaan dari segi hukum. Sebab, pada dasarnya air ini suci, dan tidak ada satu pun dalil yang meniadakan kesucian hukumnya. Adapun dalil yang menyatakan bahwa hukum air musta’mal adalah suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci adalah hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz ketika menjelaskan tata cara wudhu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.. Ia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. mengusap kepalanya dengan sisa air wudhu yang terdapat pada kedua tanggannya.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dan redaksi hadits yang diriwayatkan Abu Daud berbunyi, “Sesungguhnya Rasullullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. mengusap kepalanya dengan air yang masih tersisa yang ada di tangannya.”[6]
Abu Hurairah radhiyallahu ánhu berkata , ia bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. di jalan di Madinah, yang saat itu ia dalam keadaan junub. Dia lantas menghindari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. untuk mandi terlebih dulu. Setelah itu, ia mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.. Saat bertemu dengan beliau, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bertanya kepadanya, “Kemana engkau, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Saya tadi dalam keadaan junub. Saya tidak ingin duduk di sisimu dalam keadaan tidak bersuci.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. lalu bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang beriman tidak najis’.”[7]
Hadits ini menegaskan bahwa orang beriman tidak najis. Karenanya, tidak ada alasan menjadikan air yang telah dipergunakan hilang kesuciannya, hanya karena disentuh seorang Mukmin yang pada dasarnya suci. Secara umum, benda suci apabilan menyentuh benda suci yang lain, hal yang sedemikian tidak menimbulkan pengaruh apapun, apalagi sampai menghilangkan kesuciannya. Ibnu Mundzir berkata, “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atha’, Makhul dan Nakha’I bahwa mereka berpendapat mengenai seseorang yang lupa mengusap kepalanya lalu menemukan sisa air yang masih melekat pada jenggotnya. Menurut mereka, seseorang dibolehkan mengusap kepalanya dengan air tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal tetap suci dan bisa menyucikan. Begitu halnya dengan pendapatku.”
Mazhab ini merupakan salah satu pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Syafi’i. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pendapat yang sedemikian, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya merupakan pendapat Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur dan seluruh mazhab Zhahiri.
Ketiga: Air yang bercampur dengan benda suci
Adapun air yang bercampur dengan benda yang suci, seperti: sabun, minyak za’faran, tepung dan sebagainya, yang pada umumnya terpisah dari air, maka hukum air tersebut tetap suci dan menyucikan selama masih masuk dalam kategori air mutlak. Jika tidak lagi masuk dalam kategori air mutlak, maka air itu hukumnya suci, tapi tidak dapat menyucikan benda lain.
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Ketika putri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Zainab) wafat, beliau masuk (ke dalam ruangan kami), lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah dia (jenazah Zainanb) sebanyak tiga, lima kali atau lebih dari itu – jika perlu, – dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Lalu campurlah air itu dengan kapur barus atau yang sejenis dengannya. Apabila telah selesai, beritahukan kepadaku.’ Setelah selesai memandikan, kami pun memberitahukan kepada beliau. Kemudian beliau menyerahkan sehelai kain kafan (sejenis sarung) seraya berkata, ‘ Balutkan kain ini pada tubuhnya’!”[8]
Mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang bener-benar suci untuk orang yang masih hidup.
Imam Ahmad, Nasai dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Ummu Hani’, ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah mandi (junub) bersama Maimunah dari satu bejana, yaitu sebuah bejana besar yang di dalamnya terdapat sisa adonan roti (tepung).”[9]
Sebagaimana yang dijelaskan pada kedua hadits di atas, kita tahu bahwa air tersebut telah bercampur dengan benda-benda suci. Namun, air tersebut tidak berubah statusnya dan masih dalam kategori air mutlak.
Keempat: Air yang bercampur najis
Air yang bercampur dengan najis terbagi menjadi dua macam, yaitu:
Pertama: Jika najis yang ada dalam air itu merubah salah satu dari rasa, warna atau bau air tersebut, menurut kesepakatan ulama (ijma’), air tersebut tidak dapat digunakan untuk bersuci sama sekali. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.
Kedua: Air tetap dalam status kemutlakannya jika ketiga sifat yang meliputi rasa, bau atau warna tidak mengalami perubahan. Hukum air semacam ini adalah suci dan menyucikan, baik jumlah air tersebut sedikit ataupun banyak. Adapun yang menjadi landasan atas pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ánhu. Ia berkata, “Seorang Arab pedalaman berdiri lalu kencing dalam masjid. Dengan cepat para sahabat bangkit untuk menegurnya. Melihat hal itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda, “Biarkan dia! Sirami kencingnya dengan satu ember atau satu timba air! Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk mempersulit..”[10]
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ánhu berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. ditanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami berwudhu dari sumur Budha’ah?”’[11]
Beliau menjawab, “Air itu suci dan tidak ada sesuatu pun yang menyebabkannya menjadi najis.”[12] (HR Ahmad, Syafi’i, Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi)
Imam Tirmidzi mengklasifikasikan hadits ini sebagai hadits hasan. Imam Ahmad berkata, “Hadits sumur Budha’ah adalah shahih.” Hadits tersebut juga shahih dalam pandangan Yahya bin Mu’in dan Abu Muhammad bin Hazm.
Inilah pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Al Bashri, Ibnu Musayyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Ats Tsauri, Daud adh-Dhahiri, an-Nakha’i, Malik dan ulama yang lain. Al Ghazali berkata, “Saya berharap, semoga amzhab Syafi’i dalam perkara air, sama pendapatnya seperti mazhab Maliki.”
Abdullah bin Umar radhiyallahu ánhu meriwayatkan bahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam. Bersabda, “Jika air mencapai dua qulah, maka statusnya tidak mengandung najis,”[13] (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai)
Meskipun hadits ini mudhtahrib (tidak Jelas) dari segi sanad dan matannya. Ibnu Abdul Barr dalam kitab At Tahmid berkata, “Hadits dua qûlah yang menjadi pegangan Imam Syafi’i adalah mazhab yang lemah secara nalar, di samping haditsnya tidak kuat.”
Air Sisa Minuman
Maksudnya adalah air yang masih tersisa dalam bejana setelah diminum. Jenis air semacam ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Air sisa minuman manusia
Air sisa minuman manusia tetap suci, baik yang meminumnya orang Muslim, kafir, sedang junub maupun sedang haid.
Allah subhanahu wa ta’ala. Berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (At Taubah [9] : 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang musyrik adalah najis secara ma’nawi. Hal ini karena dilihat dari aspek akidah mereka yang batil dan ketidakpeduliannya pada kotoran dan najis, bukan badan atau tubuh mereka yang najis. Pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam., mereka diperbolehkan berinteraksi dengan kaum Muslimin. Utusan dan delegasi mereka terus berdatangan menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.. Bahkan ada di antara mereka yang diperkenankan memasuki Masjid Nabawi. Meskipun demikian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. tidak pernah menyuruh agar membasuh benda yang disentuh oleh anggota tubuh orang-orang kafir. Hal ini menjadi landasan bahwa (badan) orang-orang kafir tidak najis. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa air sisa minuman perempuan haid tidak najis adalah hadits Aisyah radhiyallahu ánhu, ia berkata, “Saya pernah meminunm air ketika sedang haid. Kemudian saya berikan bekas minuman itu kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam., beliau terus menempelkan mulutnya pada tempat di mana aku menempelkan mulutku.”[14] (HR Muslim)
2. Air sisa minuman hewan yang halal dagingnya
Status air sisa yang telah diminum hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci. Sebab, air liurnya keluar dari daging yang suci. Dengan demikian, air sisa minumannya pun tetap suci. Abu Bakar bin Mundzir berkata, “Para ulama sepakat (ijma’) bahwa air sisa minuman hewan yang halal dimakan dagingnya dapat diminum dan digunakan untuk berwudhu.
3. Air sisa minuman keledai, burung dan binatang buas
Status sisa air minuman keledai, burung dan binatang buas adalah suci. Adapun dalilnya adalah hadits Jabir radhiyallahu ánhu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. pernah ditanya, “Bolehkah kami berwudhu dengan air sisa minuman keledai?’
Beliau menjawab, ‘Boleh. Begitu juga dengan air sisa minuman seluruh binatang buas.’”[15] (HR Syafi’i, Daruquthni dan Baihaqi)
Baihaqi berkata, jalur riwayat hadits ini banyak, dan antara yang satu dengan lainnya saling menguatkan.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ánhu, ia berkata, “Pada suatu malam, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bepergian. Beliau melewati seorang laki-laki yang sedang duduk dekat telaga miliknya. Umar bertanya, ‘Apakah ada binatang busa yang minum air di telagamu pada malam hari?’ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. langsung menyela pertanyaannya seraya berkata, ‘Wahai pemilik telaga, jangan kamu beri tahu kepadanya, karena akan menyusahkan! Air yang sudah diminum binatang buas, itulah rezekinya, sedangkan sisanya dapat kita minum dan suci.”’[16] (HR Daruquthni)
Dari Yahya bin Sa’id, ia berkata, “Umar pergi bersama rombongan dan ‘Amar bin ‘Ash ttermasuk dalam rombongan itu, hingga mereka sampai di sebuah telaga. ‘Amar bertanya, ‘Wahai pemilik kolam, apakah kolam milikmu ini pernah didatangi binatang buas (untuk meminum airnya?)’ Mendengar itu, Umar berkata, ‘Kamu tidak perlu memberitahukan perkara itu kepada kami. Sebab, kami biasa minum di tempat minumnya binatang buas, dan sebaliknya, binatang juga sering minum di tempat kami meminum.”[17] (HR Malik.)
4. Air sisa minuman kucing
Air sisa minuman kucing statusnya juga suci. Sebagai landasan atas hal tersebut adalah hadits Kabsyah binti Ka’ab yang menjadi pelayan Abu Qatadah. Pada suatu ketika, Abu Qatadah masuk ke rumahnya, sedangkan Kabsyah menyediakan air wudhu untuk Abu Qatadah. Dengan tiba-tiba, seekor kucing datang lalu memasukkan kepalanya ke dalam bejana dan meminum air tersebut. Kabsyah menceritakan, “Melihat hal itu, saya hanya tertegun kebingungan.” Melihat Kabsyah dalam kebingungan, Abu Qatadah menegur, “Apakah kamu merasa heran, wahai anak saudaraku?”
“Benar,” jawab Kabsyah.
Abu Qatadah lantas berkata, sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda,
“Sesungguhnya Ia (kucing) bukanlah hewan najis. Ia termasuk hewan jinak yang senantiasa berada di sekelilingmu.”[18] (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan shahih.” Bahkan, Imam Bukhari dan yang lainnya mengategorikannya sebagai hadits shahih.
5. Air sisa minuman anjing dan babi
Air sisa minuman anjing dan babi adalah najis dan harus dijauhi. Adapun dalil atas kenajisannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ánhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika anjing meminum (air) dalam bejana salah seorang dari kalian, hendaknya ia mencucinya sebanyak tujuh kali.”[19]
Imam Ahmad dan Muslim juga meriwayatkan dengan redaksi, “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kalii, yang salah satunya harus menggunakan debu.”[20]
Sebagai alasan atas kenajisannya adalah karena bintang ini kotor dan menjijikkan.
[1] Suci baik secara haqiqiyah, seperti bersuci dengan menggunakan air, atau secara hukmiyah: seperti bersuci dengan menggunakan debu ketika bertayammum.
[2] HR Bukhari kitab “Al Âdzân,” bab “Mâ Yaqûl ba’da At Takbir” jilid I, hal.189. Muslim kitab “Al Masâjid,” bab “Mâ Yuqâl baina Takbirâh Al Ihram wa Al Qira’ah”[147], jilid I, hal 419. Abu Daud kitab “ash-Shalâh,” bab “as-Saktah ‘inda Al Iftitah” [781], jilid I, hal.492. Imam Ahmad kitab Musnad Ahmad, jilid II, Hal.231. Nasai kitab “Al Iftitah,” bab “ad-Du’â baina at –Takbirah wa a;-Qira’ah” [895], jilid II, hal.128.
[3] Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak menggunakan kata ‘ya’ dalam menjawab pertanyaan ini. Hal ini bertujuan untuk menyertakan suatu hukum dengan ‘illatnya, bahwa air laut benar-benar suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci. Di samping itu, beliau menjelaskan lebih lanjut tentang hokum satu hal yang tidak dinyatakan, yakni perkara yang berkaitan halalnya memakan bangkai binatang laut. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan manfaat hukum tersebut dan hukum lain yang tidak terungkap, serta mempertegas adanya suatu kebutuhan mengenai hukum yang dimaksud. Ini merupakan bentuk pemberian fatwa hukum yang paling baik.
[4] HR Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû’ bi Mâ’ Al Bahr”, [83], jilid I, hal. 85. Mawârid Adz-Dzam’ân kitab “Ath Thahâarah,” bab “Mâ Jâ’a fî Al Miyah” [19], jilid I, hal. 60. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Mâ’ Al Bahr” [59-333], jilid I, hal 50-176. Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Mâ’ Al Bahr annhu Thuhûrun” [69], jilid I, hal.100. Beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid II, hal. 361, jilid III, hal. 373. Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû’ bi Mâ’ Al Bahr” [386-387-388], jilid I, hal 136. Hadits ini diklasifikasikan sebagai hadits shahih oleh Syekh Ahmad Syakir dan dikategorikan hadits hasan oleh Al Albani kitab “Irwâ’ Al Ghalîl [13] namun beliau mengkategorikannya sebagai shahih dalam Shahîh an Nasai, jilid I, hal. 14 dan Shahîh Ibnu Mâjah [386].
[5] Hadits ini sebetulnya tidak diriwayatkan Imam Ahmad , tapi diriwayatkan oleh anaknya, Abdullah bin Ahmad dalam az-Zawâ’id, jilid I, hal.76. Ia dikategorikan sebagai sahih oleh Syekh Ahmad Syakir Rahimahullah dan diklasifikasikan sebagai hasan oleh Al Albani dalam irwâ’ Al Ghalîl [13].
[6] HR Muslim kitab “Ath Thahârah,” bab “fi Wudhu An Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam..”[19], jilid I.211. Musnad Ahmad, jilid IV, hal 39,40,41,dan 42. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,”bab “Al Wudhû’ Marratain, jilid I, hal.95. Tirmidzi dalam Abwâb Ath Thahârah,” bab Mâ Jâ’a annahu Ya’khudz li Ra’sih Mâ’an Jadîdan”[35], jilid I, hal. 50-51. Dalam riwayat Tirmidzi, menggunakan susunan redaksi, “Dengan air selain sisa kedua tangannya.” Lihat tahqiq Syekh Ahmad Syakir berkaitan masalah ini dalam Tirmidzi jilid I, hal. 50, 51 dan 53.
[7] HR Bukhari kitab “Al Ghusl,’ bab “Al Junûb Yakhruj wa Yamsyi fi as-Suq wa Ghairih,” jilid I,hal.79-80. Muslim kitab “Al Haidh,”, bab “ad-Dalîl ‘ala anna Al Muslim la Yanjusu” [115], jilid I, hal. 282. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “fi Al Junûb Yushâfih,” jilid I, hal. 52. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Mumâsah Al Junûb wa Mujâlasatuhu,” jilid I, hal. 145. Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “ Mâ Jâ’a fi Mushâfahah Al Junûb” [121], jilid I, hal. 207-208. Beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Mushâfahah Al Junûb” [534], jilid I, hal. 78. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid II, hal. 235.
[8] HR Bukhari kitab “Al Jumu’ah,” bab “Ghusl Al Mayyit wa Wudhuihi bi Al Mâ wa as-Sidr,” jilid I, hal. 93. Muslim kitab “Al Janâiz,” bab “fî Ghusl Al Mayyit” [40], jilid II, hal. 467. Nasai kitab “Al Janâiz,” bab “Ghusl Al Mayyit Aktsar min Sab’ah” [1889], jilid IV, hal. 31. Tirmidzi kitab “Al Janâ’iz,” bab “Mâ Jâ’a fî Ghusl Al Mayyit” [990], jilid III, hal. 306. Beliau berkata, Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Majah kitab “Al Janâ’iz,” bab “Mâ Jâ’a fî Ghusl Al Mayyit” [2458], jilid I, hal.486.
[9] HR Nasai kitab “Al Ghusl,” bab “Al Ightisal fî Qash’ah fî ha atsar Al ‘Ajîn,” jilid I, hal. 202. Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “ar-Rajul wa Al Marâh Yaghtasilan min Ina’in Wahid” [378], jilid I, hal. 134. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 342. Al Albani mengklasifikasikan hadits tersebut sebagai shahih dalam Shahîh An Nasâ’i, jilid I, hal. 51. Ibnu Majah [378]. Misykat Al Mashâbih [485]. Irwâ’ Al Ghalîl, jilid I, hal. 64.
[10] HR Bukhari kitab “Al Wudhû’,” bab “Tark An Nabi wa An Nas Al A’rabi hatta Faragha min Baulihi fî Al Masjid,” jilid I, hal. 65. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Ardh Yushibuha Al Baul,” jilid I, hal 91. Nasai kitab “Al Miyâh,” bab “At Tauqît fî Al Mâ’,” jilid I, hal. 175. Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Al Baul Yushib Al Ardh” [147], jilid I, hal. 275. Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Ardh Yushibuha Al Baul,” jilid I, hal. 176.
[11] Sumur Budhâ’ah terletak di Madinah. Abu Daud berkata: “Saya pernah mendengar Qutaibah Ibnu Sa’id berkata: ‘Saya bertanya kepada penjaga sumur Budhâ’ah: ‘Berapakah kedalaman sumur ini?’ Dia menjawab: ‘Jika airnya naik, maka kedalamannya akan mencapai setinggi pinggang (di bawah perut). Saya bertanya kepada lagi: ‘Sejauh manakah jika surut?’ Dia menjawab: ‘Jika surut, kedalamannya di bawah lutut’.” Abu Daud berkata: “Saya pernah membentangkan kain selendangku ke dalam sumur Budhâ’ah untuk mengukur lebarnya. Ternyata lebarnya enam hasta. Saya juga bertanya kepada penjaga kebun sumur Budhâ’ah agar berkenan membukakan pintunya agar bisa menggapai airnya: ‘Apakah kondisi bangunan dan hAl hal lain di dalam sumur Budhâ’ah ini pernah dirubah?’ Dia menjawab: ‘Tidak!’ Saya melihat secara langsung bahwa air yang terdapat di dalam sumur itu berubah warna (keruh).”
[12] HR Tirmidzi kitab “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a anna Al Mâ’ la Yunajjisuhu Syai’un” [66], jilid I, hal. 96. Beliau berkata: “Ini hadits hasan.” Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Bi’r Budhâ’ah” [66], jilid I, hal. 54. Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, jilid III, hal. 31-86. As-Sunan Al Kubrâ oleh Baihaqi kitab “Ath Thahârah,” bab “At Tathahhur bi Mâ’ al_Bi’r, jilid I, hal. 4-jilid I, hal. 257. Daruquthni kitab “Ath Thahârah,’ bab “Al Mâ’ Al Mutaghayyir” [11], jilid I, hal. 30. Nasai kitab “Al Miyâh,” bab “Dzikr Bi’r Budhâ’ah[326], jilid I, hal 175. Talkhîsh Al Hâbir, jilid I, hal. 13. Pengarang Talkhîsh Al Hâbir berkata: “Ini hadits hasan.” Sanadnya telah dinilai baik oleh Abu Usamah. Ia dianggap shahih oleh Ahmad Ibnu Hanbal, Yahya Ibnu Mu’in dan Abu Muhammad Ibnu Hazm. Al Albani juga mengklasifikasikannya sebagai hadits shahih dalam Shahîh An Nasâ’i, jilid I, hal. 70. Shahîh At Tirmidzi [66] Misykâh Al Mashâbih [228]. Shahîh Al Jâmi’ [1925-6640]. Irwâ’ Al Ghalîl [14].
[13] HR Abu Daud, jilid I, hal. 17. Nasai jilid I, hal. 46. Tirmidzi [67]. Ahmad, jilid I, hal. 314. Daruquthni, jilid I, hal. 187. Hakim dalam Al Mustadrak, jilid I, hal. 133. Al Albani mengklasifikasikannya sebagai hadits shahih dalam Irwâ’Al Ghalîl, jilid I, hal. 60 dan Shahîh Al Jâmi’ [758].
[14] HR Muslim kitab “Ath Thahârah,” bab “Khidmah Al Ha’idh Zaujahâ,” jilid III, hal. 210. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Intifâ’ bi Fadhl Al Hai’dh,” jilid I, hal. 149. Musnad Ahmad, jilid VI, hal. 210. Syarh as- Sunnah oleh Al Baghawi, jilid II, hal. 134 meskipun terdapat perbedaan dari segi redaksi hadits.
[15] Diriwayatkan dalam kitab Musnad asy-Syafi’i, hal. 8, bab “Mâ Kharaja min kitab Al Wudhû’,” Daruquthni kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Asar” [200], jilid I, hal. 62. Daruquthni berkata, “Di antara perawi hadits ini, ada yang bernama Ibnu Abu Habibah, beliau dikenal sebagai perawi dha’îf. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah.” Hadits ini terdapat dalam as-Sunan Al Kubrâ oleh Baihaiki, jilid I, hal. 249. Pengarang Talkhîsh Al Hâbir berkata: “Hadits ini diriwayatkan dari Abu Sai’id, Abu Hurairah dan Ibnu Umar. Namun dikategorikan sebagai hadits dha’îf oleh Daruquthni.” Riwayat Abu Sa’id terdapat dalam Sunan Ibnu Majah, sedangkan riwayat Ibnu Umar terdapat dalam Al Muwattha’, jilid I, hal. 41, secara mauqûf dari Ibnu Umar. Al Albani mengklasifikasikannya sebagai dha’îf dalam kitabnya Tamâm Al Minnah [47].
[16] HR Daruquthni kitab “Ath Thahârah,” bab “Hukm Al Mâ’ idza Lâqathu An Najâsah” [30], jilid I, hal. 26. Hadits ini adalah dha’îf, bahkan Ibnu Hajar dalam At Talkhîsh dan asy-Syawkani mengklasifikasikannya sebagai hadits dha’îf. Demikian juga Al Albani dalam Tamâm Al minnah [48].
[17] Diriwayatkan dalam Al Muwattha’ oleh Malik kitab “Ath Thahârah,” bab “Ath Thuhûr li Al Wudhû’ [14], jilid I, hal. 23-24. Baihaqi dalam as-Sunan Al Kubrâ, jilid I, hal. 250. Daruquthni dalam SunAn nya, jilid I, hal. 22. Ia diklasifikasikan sebagai hadits dha’îf oleh Al Albani dalam Tamâm Al Minnah [48]. Hadits ini, diriwayatkan dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib bahwa Umar…bukannya Yahya bin Sa’id bahwa Umar…
[18] HR Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Su’r Al Hirrah,” jilid I, hal. 18. An Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Su’r Al Hirrah,” jilid I, hal. 55. Tirmidzi dalam “Abwâb Ath Thahârah,” bab “Mâ Jâ’a fî Su’r Al Hirrah” [92], jilid I, hal. 153 dan beliau berkata: “Hadits ini, hasan lagi shahih .”: Ibnu Majah kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû’ bi Su’r Al Hirrah wa ar-Rukhshah fî Dzalik,” jilid I, hal. 131. Musnad Ahmad, jilid V, hal. 296, 3010 dan 309. Al Albani mengklasifikasikannya sebagai shahih dalam Shahîh An Nasâ’i, jilid I, hal. 16-73. Shahîh Ibnu Majah [367. Irwâ’ Al Ghalîl [173], dan Shahîh Al Jâmi’ [2437].
[19] HR Bukhari kitab “Al Wudhû’,” bab “Al Mâ’ Al Ladî Yahsil bihî Say’r Al Insân,” jilid I, hal. 54. Muslim kitab ”Ath Thahârah,” bab “Hukm Wulugh Al Kalb,” jilid III, hal. 182. Nasai kitab “Ath Thahârah,” bab “Su’r Al Kalb,” jilid I, hal. 52 (Terdapat perbedaan dari segi susunan lafal). Musnad Ahmad, jilid II, hal. 460. Sunan Al Baihaqi kitab “Ath Thahârah,” bab “Ghusl Al Ina’ min Wulugh Al Kalb Sab’a Marrat,” jilid I, hal. 240-256.
[20] HR Muslim kitab “Ath Thahârah,” bab “Hukm Wulugh Al Kalb,” [91], jilid I, hal. 234. Abu Daud kitab “Ath Thahârah,” bab “Al Wudhû bi Su’r Al Kalb,” jilid I, hal. 17. Musnad Ahmad, jilid II, hal. 427. Baihaqi, jilid I, hal. 240.
@Hasan Al Banna
makasih sudah bagi ilmunya
ReplyDeleteTerimaksih ilmunya ustad,izin copast ya
ReplyDelete